Ketika tubuh memberi sinyal tak biasa, banyak orang langsung membuka Google, mengetik gejala, dan menelusuri kemungkinan penyakit. Praktik ini dikenal sebagai cyberchondria, gabungan dari “cyber” dan “hypochondria” yang menggambarkan kecemasan berlebihan akibat pencarian informasi medis secara daring.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan modern, melainkan refleksi dari dinamika psikologis yang lebih dalam. Di balik layar pencarian, tersimpan pola kepribadian yang memengaruhi cara seseorang merespons ketidakpastian tubuhnya.
Kecemasan yang Diperbesar oleh Algoritma
Menurut laporan yang sama, salah satu ciri paling umum dari individu yang sering mencari gejala penyakit di Google adalah tingkat kecemasan yang tinggi terhadap kesehatan. Mereka cenderung mengaitkan sakit kepala dengan tumor otak atau nyeri perut dengan kanker usus, hanya karena hasil pencarian yang menyesatkan. Internet, alih-alih menenangkan, justru memperbesar ketakutan.
Psikolog klinis Dr. David Veale dari King’s College London menyebut bahwa “cyberchondria dapat memperkuat kecemasan dan memperpanjang waktu seseorang untuk mencari bantuan profesional.” Dalam studi yang dipublikasikan oleh Journal of Anxiety Disorders, ditemukan bahwa pencarian medis online dapat memperburuk gejala kecemasan dan menciptakan siklus pencarian yang berulang tanpa solusi nyata.
Perfeksionisme dan Ketidakmampuan Menerima Ketidakpastian
Individu perfeksionis memiliki kebutuhan tinggi untuk memahami tubuh mereka secara pasti. Ketika merasakan sesuatu yang tidak biasa, mereka tidak bisa menerima ketidakpastian. Pencarian gejala di Google menjadi upaya untuk mendapatkan jawaban cepat dan pasti, meski belum tentu akurat.
Menurut laporan MSN, kepribadian seperti ini cenderung memiliki dorongan kuat untuk mengendalikan segala aspek kehidupan, termasuk kesehatan. Ketika tubuh terasa aneh, mereka merasa tidak berdaya. Mencari tahu lewat Google menjadi cara untuk merebut kembali kendali, walau hanya dalam bentuk informasi.
Skeptisisme terhadap Otoritas Medis
Sebagian orang merasa dokter bisa salah, lambat, atau tidak menjelaskan secara lengkap. Maka, mereka memilih mencari tahu sendiri terlebih dahulu. Kepribadian seperti ini cenderung skeptis terhadap otoritas dan merasa harus memverifikasi sendiri segala informasi medis sebelum mempercayainya.
Dalam studi oleh Health Communication Research, ditemukan bahwa tingkat kepercayaan terhadap dokter berbanding terbalik dengan frekuensi pencarian medis online. Semakin rendah kepercayaan terhadap tenaga medis, semakin tinggi kecenderungan seseorang untuk mencari informasi kesehatan secara mandiri.
Overthinking dan Efek Domino Informasi
Individu yang sering terjebak dalam pusaran pikiran “bagaimana jika…” cenderung menjadi overthinker. Pikiran mereka bergulir dari satu asumsi ke asumsi lain yang makin menakutkan. Alih-alih tenang setelah membaca informasi, mereka malah semakin bingung dan takut.
Laporan MSN menyebut bahwa kepribadian ini membuat seseorang cepat bereaksi terhadap perubahan kecil dalam tubuh. Rasa nyeri sedikit saja bisa terasa besar, dan ini mendorong mereka mencari informasi sesegera mungkin agar merasa tenang. Namun, informasi yang ditemukan sering kali tidak membantu, bahkan memperburuk kecemasan.
Sugestibilitas dan Efek Cerita Ekstrem
Beberapa orang sangat mudah terpengaruh oleh cerita orang lain, khususnya di media sosial atau forum diskusi. Mereka membaca pengalaman seseorang tentang gejala yang mirip, lalu langsung merasa bahwa mereka juga mengalami hal yang sama. Internet memperbesar efek ini karena cerita yang ekstrem sering kali lebih mencolok dan viral.
Dalam studi oleh Pew Research Center, ditemukan bahwa 62% pengguna internet pernah merasa cemas setelah membaca cerita kesehatan di media sosial. Efek sugestif ini memperkuat cyberchondria dan membuat individu semakin sulit membedakan antara fakta medis dan narasi personal.
Ketidakpercayaan Diri dalam Memahami Tubuh Sendiri
Orang yang sering mencari gejala penyakit di Google cenderung memiliki kepercayaan diri rendah terhadap kemampuan mereka memahami tubuh sendiri. Mereka merasa tidak mampu membaca sinyal tubuh atau membedakan antara gejala ringan dan serius. Maka, mereka bergantung pada pencarian digital untuk “menerjemahkan” apa yang sedang mereka rasakan.
Psikolog Dr. Susan Whitbourne dari University of Massachusetts menyatakan bahwa “kepercayaan terhadap intuisi tubuh adalah bagian penting dari kesehatan mental.” Ketika kepercayaan itu hilang, individu cenderung mencari validasi eksternal, termasuk dari mesin pencari.
Menyikapi Informasi Medis Secara Sehat
Mencari informasi medis secara online memang bisa membantu untuk edukasi dasar. Namun, saat kebiasaan ini didorong oleh kecemasan berlebihan, kurangnya kepercayaan diri, dan kebutuhan kontrol yang ekstrem, maka yang terjadi bukan klarifikasi, melainkan kepanikan.
Jika perilaku ini mulai mengganggu kehidupan sehari-hari, tidak ada salahnya mencari bantuan psikolog untuk memahami lebih dalam kecemasan yang dialami. Konsultasi langsung dengan tenaga medis profesional akan memberikan informasi yang lebih akurat dan menenangkan.
Baca Juga: Menkes Budi Sadikin Sebut Dokter Wajib Menggunakan AI
Referensi:
- The Relationships between Health Anxiety, Online Health Information Seeking, and Cyberchondria (2019), Journal of Affective Disorder
- Social Media and Health Anxiety (2023), Paw Research Center.