Badan Gizi Nasional menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 6 Tahun 2025 tentang perluasan dan kualifikasi yang dibutuhkan satuan pelayanan pemenuhan gizi atau SPPG. Adanya SE ini menegaskan sejumlah ketentuan penting bahwa profesi ahli gizi dapat disubstitusi oleh bidang keilmuan lain.
Berdasarkan SE No 6 Tahun 2025 pada poin pertama menyebutkan guna mengatasi kelangkaan ahli gizi, BGN melakukan rekrutmen profesi lain di berbagai SPPG. Kemudian pada poin kelima BGN akan melakukan perluasan pendidikan dan kualifikasi dari jurusan kesehatan masyarakat, teknologi pangan, pengolahan makan, dan manajemen industri jasa makanan dan gizi (MIJMG).
Kendati pun BGN tetap menggulirkan kebijakan itu, berarti menganggap profesi ahli gizi hanya sekadar membuat ‘masakan enak’ dan ‘bikin menu beragam’ saja. Padahal ahli gizi merupakan sebuah profesi fundamental dalam pemenuhan gizi penerima manfaat, bukan ‘jabatan’ yang bisa digantikan jurusan lain.
Reaksi dari Sejumlah Kalangan
Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia menyatakan sikapnya menyoal proyek makan gratis berskala gigantis tidak membutuhkan ahli gizi. HMP FKM UI menilai pejabat publik tidak memiliki pemahaman mengenai standar keselamatan pangan dan regulasi tenaga kesehatan. Lebih dari itu, menunjukan lemahnya prinsip pelayanan publik berorientasi kompetensi serta merendahkan lulusan sarjana gizi.
“HMP FKM UI menolak secara tegas segala bentuk penyederhanaan profesi gizi, mengesampingkan peran ahli gizi berarti mengabaikan precautionary principle di proyek MGB,” dikutip dari website resmi HMP FKM UI. Asosiasi tersebut memandang pernyataan Wakil Ketua DPR beberapa hari lalu sebagai bentuk disinformasi kebijakan yang menyesatkan.
Padahal ahli gizi merupakan tenaga kesehatan yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2023. Kemudian termuat di berbagai Permenkes yang mensyaratkan kompetensi profesional, kualifikasi akademik, dan registrasi STR untuk menjadi praktisi gizi.
Polemik ini juga menuai komentar beragam di kalangan warganet, terutama di akun media sosial Instagram seputar gizi. Salah satu warganet juga mengeluhkan ucapan yang dilontarkan Wakil Ketua DPR itu. “Apa-apaan kuliah gizi mahal-mahal dan butuh waktu yang lama. Lulus kuliah sekeren ini tiba-tiba diremehin pemerintah sendiri, muak bgt!,” tulis akun Instagram Amelia Litya di kolom komentar Pojok Gizi.
Komunikasi Niremapati yang Menimbulkan Kekeliruan
Di balik riuhnya persoalan apakah setiap dapur MBG membutuhkan ahli gizi atau bisa digantikan praktisi dari latar belakang teknologi pangan, kesehatan masyarakat, dan bidang serupa lainnya. Ada satu pesan yang seharusnya menjadi perhatian kita semua, mengapa standar kompetensi begitu mudah untuk dinegosiasikan, bahkan untuk peran krusial yang memiliki dampak luas bagi kepentingan publik.
Alih-alih memberikan solusi, segelintir pejabat publik justru memperkeruh situasi. Reaksi para ahli gizi yang meradang memperlihatkan bahwa praktisi tersebut memiliki fungsi strategis dalam ekosistem kesehatan nasional.
Kondisi aktualnya profesi ahli gizi tidak diraih dalam semalam atau hanya tiga bulan dengan mengikuti pelatihan singkat. Pernyataan itu dianggap mencederai integritas profesi yang membutuhkan studi panjang dan sertifikasi yang ketat.
Perselisihan ini mengungkap tabir tentang seberapa pentingnya akurasi terminologi dalam kebijakan teknis. Kesalahan penggunaan diksi dapat berujung petaka hingga miskonsepsi yang memicu skeptisme publik.
Ahli Gizi Bukan Sekadar Terminologi
Menyandang gelar ahli gizi merupakan sebuah keistimewaan, bahkan kehormatan bagi pemeluknya. Di sisi lain polemik nomenklatur itu, kita disadarkan mengenai pentingnya profesi ahli gizi dalam ekosistem MBG.
Terminologi itu bukan sekadar label, namun representasi kompetensi, keahlian, dan standar profesi. Ketika istilah itu direposisi tanpa kajian mendalam, muncul kekhawatiran apakah layanan gizi tereduksi?
Kritik dari praktisi gizi ini menegaskan bahwa setiap profesi harus dihormati sebagai bagian dari ekosistem pembangunan manusia. Tidak ada satupun profesi yang layak dikucilkan.
Refleksi dari kasus ini menyadarkan pentingnya kemampuan literasi komunikasi pejabat publik tanpa merendahkan profesi lain. Dalam era keterbukaan informasi, kredibilitas dibentuk dari empati yang dimunculkan, bukan berbasis kuasa yang dimiliki.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR Sebut Masih Perlukah Ahli Gizi?
Referensi
- Saat Kata Menabrak Martabat: Pelajaran dari Sebuah Polemik | Kompasiana
- Pernyataan sikap terkait polemik pernyataan “tak perlu ahli gizi” dalam program mbg | HMP FKM UI
- Di Mata BGN: Kita Semua Ahli Gizi | Pojokgizi
Editor: Eka Putra Sedana

