Menyaksikan anak harus menjalani cuci darah adalah kenyataan yang memilukan bagi setiap orang tua. Akhir-akhir ini, kasus gagal ginjal pada anak dan remaja menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Gagal ginjal adalah kondisi disaat ginjal tidak lagi mampu menyaring racun yang seharusnya dikeluarkan tubuh melalui urin.
Hingga 18 Oktober 2022, tercatat sudah ada 189 kasus gagal ginjal pada rentang usia 6 bulan hingga 18 tahun, dengan mayoritas penderita adalah anak berusia 1-5 tahun. Tidak jarang juga mereka berakhir dengan harus menjalani prosedur cuci darah di rumah sakit. Angka ini bukan sekedar data, melainkan potret nyata bahwa masa depan generasi kecil kita sedang terancam dan penyakit yang seharusnya dapat dicegah sejak awal.
Kebiasaan Sehari-Hari Menjadi Faktor Risiko yang Sering Terabaikan

Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu gagal ginjal pada anak dan remaja, diantaranya kurangnya aktivitas fisik, dehidrasi, penggunaan obat tanpa resep, faktor genetik, serta pola makan yang tidak sehat. Kebiasaan konsumsi makanan tinggi garam, makanan ultra-proses, dan minuman manis banyak menjadi salah satu penyebab utama.
Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa remaja memiliki perilaku jajanan yang berisiko, yaitu tinggi gula, garam, dan lemak. Data Jurnal Kesehatan menunjukkan, 76,1% remaja mengonsumsi gula melebihi anjuran, 67,4% mengonsumsi garam berlebih, dan 80,4% mengonsumsi lemak berlebih. Pemberian minuman kemasan tinggi gula seperti susu dan minuman kemasan lain, serta jajanan tinggi garam dan lemak termasuk junk food pada anak, juga dapat menjadi akar dari permasalahan serius ini.
Gejala Gagal Ginjal yang Perlu Orang Tua Waspadai

Kasus gagal ginjal pada anak semakin mengkhawatirkan, dan orang tua tidak boleh lengah. Gejala yang tampak sepele seperti tidak nafsu makan, diare, muntah, demam lebih dari tiga hari, batuk, pilek, mudah kelelahan dan sering mengantuk, tampak pucat, berkurangnya urine, teraba benjolan dalam rongga perut, dan munculnya infeksi saluran kemih yang berulang dapat menjadi tanda bahaya. Jika tanda-tanda ini muncul, Kementerian Kesehatan menghimbau untuk tidak menunda waktu untuk segera membawa anak ke tenaga kesehatan, karena setiap menit sangat berharga untuk anak.
Pastikan anak minum cukup air, dan jangan abaikan bila urin sudah berubah warna menjadi pekat atau kecoklatan, atau bahkan tidak keluar sama sekali selama 6-8 jam di siang hari. Deteksi cepat dan tindakan segera dapat menyelamatkan nyawa anak.
Konsekuensi Jangka Panjang Gagal Ginjal pada Anak dan Remaja

Hidup dengan penyakit gagal ginjal bukan hanya soal berobat rutin, tetapi juga perjuangan panjang yang penuh tantangan. Anak-anak dan remaja dengan kondisi ini sering mengalami gangguan fisik seperti pertumbuhan yang terhambat, anemia, hipertensi yang berdampak pada penurunan energi, fungsi kognitif, serta aktivitas sehari-hari.
Bukan hanya fisik, beban emosional pun menekan. Rasa cemas, sedih, hingga gangguan tidur dan depresi dapat mengganggu kesehatan mental dan aktivitas sehari-hari. Di lingkungan sosial, mereka sering merasa berbeda, sulit diterima, bahkan tertinggal dalam pelajaran karena sering absen sekolah karena pengobatan. Tak jarang, ada yang harus berhenti bersekolah.
Semakin parah tingkat gagal ginjal yang dialami, semakin buruk pula kualitas hidup penderita karena gejala dan komplikasi yang lebih berat. Meski faktor usia, jenis kelamin, atau latar belakang tak banyak berpengaruh, kenyataan setiap anak dengan kondisi ini tetap harus berjuang menghadapi keterbatasan yang membuat kualitas hidup mereka jauh dari kata mudah.
Cuci Darah Sebagai Harapan Terakhir

Semakin tinggi kasus gagal ginjal kronis pada anak dan remaja, maka semakin meningkat pula kasus cuci darah pada usia muda. Cuci darah, atau yang dikenal juga dengan hemodialisis, adalah jalan yang harus ditempuh ketika ginjal sudah tak mampu lagi bekerja. Dengan bantuan mesin khusus, darah dibersihkan dari racun yang seharusnya dibuang oleh ginjal. Prosedur ini sering menjadi harapan terakhir bagi pasien gagal ginjal.
Staf Divisi Nefrologi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dr. Ahmedz Widiasta, mencatat hingga Agustus 2024 terdapat sekitar 10 hingga 20 anak setiap bulannya yang bergantung pada prosedur ini untuk tetap bertahan hidup. Sementara itu, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Dr. dr. Eka Laksmi Hidayati, melaporkan bahwa pada Juli 2024 terdapat 60 pasien anak yang menjalani prosedur cuci darah di rumah sakit tersebut.
Kondisi anak dan remaja yang harus menjalani cuci darah tentu berdampak pada kualitas hidup mereka. Prosedur yang melelahkan, rawat inap yang berulang, hingga risiko infeksi membuat hari-hari mereka terasa semakin berat. Masa kecil dan remaja yang seharusnya dipenuhi canda dan permainan, perlahan tergantikan oleh rutinitas rumah sakit dan perjuangan melawan rasa sakit.
Keterlibatan Orang Tua Serta Lingkungan dalam Hal Pencegahan

Menyaksikan anak sakit adalah hal paling berat bagi orang tua, terlebih jika harus menjalani prosedur cuci darah. Karena itu, langkah pencegahan menjadi sangat penting dan wajib dilakukan sejak dini. Rumah Sakit Permata Jonggol menekankan bahwa keterlibatan orang tua dan lingkungan berperan penting dalam upaya pencegahan, khususnya pada hal-hal berikut:
1. Membangun Kebiasaan Makan Sehat
Sejak kecil, anak-anak perlu dikenalkan pada makanan bergizi. Mengurangi minuman manis kemasan, makanan tinggi garam, serta lemak berlebih dan memperbanyak buah, sayur, serta air putih dapat menjadi tameng bagi kesehatan ginjal di masa depan.
2. Mengajak Anak Aktif Bergerak
Kegiatan sederhana seperti bermain, berlari, atau bersepeda dapat menjaga anak tetap sehat sekaligus membuat mereka senang. Sebaliknya, terlalu lama di depan layar hanya merampas momen berharga yang menyehatkan.
3. Hati-Hati dalam Penggunaan Obat
Anak-anak tidak bisa diperlakukan seperti orang dewasa dalam hal konsumsi obat. Pemberian obat tanpa arahan dokter bisa berbahaya, sehingga penting bagi mereka memahami bahwa obat tidak seperti permen.
4. Melakukan Pemeriksaan Rutin
Cek kesehatan anak berkala, termasuk tekanan darah dan tes urin mampu membantu mendeteksi masalah sejak dini. Deteksi awal ini menjadi kunci agar anak bisa tumbuh sehat tanpa permasalahan serius.
5. Membatasi “Screen Time”
Mengurangi penggunaan gadget memberi kesempatan anak lebih banyak beraktivitas nyata dan membantu kedekatan dengan keluarga. Kehangatan hubungan langsung jauh lebih bernilai dibandingkan sekedar cahaya layah.
6. Menciptakan Lingkungan Keluarga yang Mendukung
Rumah adalah tempat belajar pertama bagi anak. Dengan menyediakan makanan sehat, memberi teladan dalam berolahraga, dan menghadirkan dukungan emosional, orang tua membangun fondasi kesehatan fisik dan mental anak. Orang tua harus menjadi teladan dalam menerapkan pola hidup yang sehat di rumah.
Baca Juga: Ingin Membersihkan Ginjal? Ini 5 Solusi Sederhana dari Rumah!
Referensi
- Cuci Darah, Ini yang Harus Anda Ketahui | Alodokter
- Kasus Gagal Ginjal Akut Pada Anak Meningkat, Orang Tua Diminta Waspada | Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
- Literasi Gizi dan Konsumsi Gula, Garam, Lemak pada Remaja di Kota Padang (2022), Jurnal Kesehatan Politeknik Negeri Jember
- Marak Kasus Anak Cuci Darah, RSHS Ungkap Penyebabnya Karena Ini | Detik Jabar
- Mengenal Penyakit Ginjal Kronis pada Anak | Ikatan Dokter Anak Indonesia
- RSCM: Jumlah Pasien Anak yang Menjalani Cuci Darah Meningkat | Good Stats
- Quality of Life in Children with Chronic Kidney Disease (2023), Paediatrica Indonesiana
Editor: Eka Putra Sedana