Polemik Kandungan Susu dalam Program Makan Bergizi Gratis

Dalam dokumen resmi MBG, susu disebut sebagai sumber protein hewani yang efisien, kaya kalsium, dan mudah didistribusikan. Ia masuk dalam kategori “bahan pangan prioritas” bersama telur dan ikan. Namun, di lapangan, tidak semua anak bisa mengonsumsi susu. Beberapa mengalami intoleransi laktosa, sebagian lainnya memiliki alergi protein susu sapi, dan ada pula yang berasal dari latar budaya atau agama yang tidak terbiasa mengonsumsi produk hewani tertentu. Maka, polemik pun tak terhindarkan.

Kandungan Gizi Susu

Susu memang memiliki profil gizi yang mengesankan. Dalam satu gelas, terkandung sekitar 8 gram protein, 300 mg kalsium, serta vitamin D dan B12 yang penting untuk pertumbuhan tulang dan sistem saraf. Dalam konteks MBG, susu dianggap sebagai solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien anak sekolah. Namun, efisiensi gizi tidak selalu sejalan dengan toleransi biologis.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, prevalensi intoleransi laktosa di Indonesia diperkirakan mencapai 30–40% pada populasi dewasa muda, dan bisa lebih tinggi pada anak-anak dari kelompok etnis tertentu. Gejalanya tidak selalu ekstrem, tetapi cukup mengganggu: kembung, diare, dan nyeri perut setelah mengonsumsi produk susu. Dalam kasus alergi, reaksi bisa lebih serius, mulai dari ruam kulit hingga gangguan pernapasan. Maka, ketika susu dijadikan menu wajib, risiko kesehatan pun ikut meningkat.

Ketika Pedoman Bertemu Realitas

Beberapa sekolah yang telah menerapkan MBG melaporkan adanya keluhan dari orang tua terkait efek samping konsumsi susu. Di satu daerah, seorang guru menyebut bahwa beberapa siswa enggan minum susu karena merasa mual setelahnya. Di tempat lain, dapur penyedia MBG mengganti susu dengan sari kedelai atau air mineral karena keterbatasan logistik dan permintaan orang tua. Namun, penggantian ini belum diatur secara eksplisit dalam pedoman, sehingga menimbulkan kebingungan administratif.

Dalam dokumen MBG, terdapat klausul tentang “penyesuaian menu berdasarkan kondisi lokal dan kebutuhan khusus,” namun implementasinya belum merata. Beberapa penyedia makanan merasa terikat pada standar yang ketat, sementara yang lain mengambil inisiatif sendiri. Ketidaksinkronan ini menimbulkan pertanyaan: apakah pedoman cukup fleksibel untuk mengakomodasi keragaman biologis dan budaya anak Indonesia?

Transparansi dan Edukasi Menjadi Dua Pilar yang Belum Kuat

Polemik susu dalam MBG bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal komunikasi. Banyak orang tua yang tidak tahu bahwa susu menjadi bagian dari menu harian anak. Tidak ada label, tidak ada penjelasan, dan tidak ada ruang untuk memilih. Dalam konteks kebijakan publik, transparansi adalah fondasi kepercayaan. Ketika informasi tidak disampaikan dengan jelas, maka resistensi akan muncul.

Edukasi gizi juga belum menyentuh isu ini secara mendalam. Anak-anak diajarkan pentingnya makan sayur dan buah, tetapi tidak diajak memahami bahwa tubuh setiap orang berbeda. Dalam kurikulum gizi yang menyertai MBG, belum ada modul tentang alergi makanan, intoleransi, atau pilihan alternatif. Padahal, pemahaman semacam ini bisa membentuk generasi yang lebih sadar tubuh dan lebih toleran terhadap perbedaan.

Menu Alternatif yang Masih Terbatas

Beberapa ahli gizi menyarankan agar MBG menyediakan opsi menu tanpa susu, terutama bagi anak-anak yang memiliki riwayat alergi atau intoleransi. Alternatif seperti susu kedelai, susu oat, atau bahkan air kelapa bisa menjadi pilihan, meski kandungan gizinya berbeda. Namun, tantangan logistik dan biaya membuat opsi ini belum masuk dalam skema nasional.

Dalam jangka pendek, solusi yang paling realistis adalah fleksibilitas menu dan pelibatan orang tua dalam proses perencanaan. Sekolah bisa menyusun daftar anak dengan kebutuhan khusus, dan dapur MBG bisa menyesuaikan menu tanpa melanggar pedoman. Namun, agar ini berjalan, dibutuhkan sistem pelaporan yang rapi, pelatihan bagi penyedia makanan, dan dukungan dari pemerintah daerah.

Makan Bergizi Harus Inklusif, Bukan Seragam

Program MBG adalah langkah besar dalam sejarah kebijakan gizi Indonesia. Ia menunjukkan bahwa negara hadir untuk memastikan anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan kuat. Namun, dalam semangat inklusivitas, makan bergizi tidak boleh menjadi pengalaman yang menyakitkan bagi sebagian anak. Susu, sebaik apa pun kandungan gizinya, tidak bisa dipaksakan kepada tubuh yang menolaknya.

Polemik ini membuka ruang refleksi. Gizi bukan hanya soal angka, tetapi soal rasa, budaya, dan tubuh yang unik. Maka, pedoman MBG harus terus dikawal, diperbarui, dan disesuaikan agar benar-benar menjadi milik semua anak tanpa kecuali.

Baca Juga: Susu UHT untuk Cegah Anak Stunting, Apakah Tepat?

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner TikTok
Banner E1