Lonjakan Kasus Kanker Usus di Korea Selatan, Apa Penyebabnya?

Angka tidak pernah berdusta, tetapi sering kali datang tanpa suara. Korea Selatan, negara yang dikenal dengan sistem kesehatan canggih dan harapan hidup tinggi, kini memegang rekor yang tidak diinginkan: kasus kanker usus tertinggi di dunia. Di balik pencapaian ekonomi dan budaya pop yang mendunia, ada pola hidup yang diam-diam menggerogoti tubuh warganya.

“Dalam 30 tahun terakhir, angka kejadian kanker kolorektal di Asia Timur meningkat dua hingga empat kali lipat. Korea Selatan kini mencatat tingkat tertinggi di dunia.” Dikutip dalam studi oleh Seoul National University.

Kanker kolorektal, yang mencakup kanker kolon dan rektum, selama ini dikenal sebagai “penyakit Barat.” Namun, dalam tiga dekade terakhir, epidemi ini telah bergeser ke Timur. Korea Selatan menjadi contoh paling mencolok dari pergeseran itu. Pertanyaannya bukan lagi apakah, tetapi mengapa.

Pergeseran Pola Makan dari Kimchi ke Sosis

Penelitian gabungan dari Seoul National University College of Medicine dan Chung-Ang University menganalisis 82 studi kohort dari Korea, Jepang, China, Taiwan, dan Singapura. Hasilnya menunjukkan korelasi yang jelas antara pola makan bergaya Barat dan peningkatan risiko kanker kolorektal.

Pola makan tradisional Korea, yang kaya akan sayuran fermentasi, ikan, dan biji-bijian, perlahan tergeser oleh konsumsi tinggi daging merah, makanan olahan, dan produk tinggi lemak. Sosis, ham, dan daging panggang kini menjadi bagian dari menu harian, terutama di kalangan muda urban. Analisis menunjukkan bahwa konsumsi daging secara keseluruhan meningkatkan risiko kanker kolorektal sebesar 18 persen. Daging olahan menyumbang angka yang sama, sementara daging putih seperti ayam dan kalkun dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker rektum hingga 40 persen.

Soju dan Statistik yang Tidak Menyenangkan

Di Korea Selatan, alkohol bukan sekadar minuman, tetapi bagian dari budaya sosial. Soju, yang dijual bebas dan dikonsumsi luas, menjadi simbol perayaan sekaligus pelarian. Namun, dalam konteks kanker usus, ia juga menjadi pemicu.

Studi yang sama menemukan bahwa konsumsi alkohol lebih dari 30 gram per hari, setara dengan dua kaleng bir atau setengah botol soju. Hal tersebut meningkatkan risiko kanker kolorektal hingga 64 persen. Risiko ini konsisten baik pada kanker kolon maupun rektum. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi budaya minum sebagai bentuk keakraban dan etiket kerja, angka ini menjadi peringatan yang tidak bisa diabaikan.

Kalsium dan Sayuran sebagai Penawar yang Terlupakan

Di tengah pola makan yang berubah, ada elemen yang justru menurun: kalsium dan serat. Produk susu dan ikan kecil seperti teri, yang kaya kalsium, terbukti menurunkan risiko kanker kolorektal sebesar 7 persen. Kalsium berikatan dengan asam lemak dan asam empedu di usus, mengurangi efek karsinogenik.

Pola makan yang kaya akan sayuran, buah, biji-bijian utuh, dan protein tanpa lemak juga menunjukkan efek protektif. Kelompok yang mengadopsi pola makan sehat memiliki risiko kanker usus besar 15 persen lebih rendah dibanding mereka yang mengonsumsi makanan tinggi lemak dan olahan

Dilema Antara Modernitas dan Risiko Gaya Hidup Urban

Korea Selatan adalah negara yang bergerak cepat. Modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi telah mengubah lanskap sosial dan budaya. Makanan cepat saji, gaya hidup sedentari, dan tekanan kerja tinggi menjadi bagian dari keseharian. Dalam atmosfer seperti itu, kesehatan sering kali menjadi korban diam-diam.

Para peneliti menekankan bahwa kanker kolorektal dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup. Membatasi konsumsi daging merah dan olahan, menghindari alkohol berlebihan, serta meningkatkan asupan sayuran dan buah bukan hanya saran medis, tetapi strategi bertahan hidup dalam dunia yang semakin kompleks.

Statistik yang Menyentuh Meja Makan

Korea Selatan tidak kekurangan teknologi medis atau kampanye kesehatan. Namun, ketika budaya makan dan minum berubah lebih cepat dari kesadaran publik, angka kanker usus menjadi cermin dari gaya hidup yang perlu ditinjau ulang.

Bagi pembaca usia produktif yang hidup di antara tuntutan kerja dan godaan konsumsi instan, kisah Korea Selatan adalah pengingat bahwa pilihan sehari-hari memiliki konsekuensi jangka panjang. Makan bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal risiko. Dan dalam dunia yang semakin cepat, melambat sejenak untuk memilih dengan bijak bisa menjadi keputusan paling sehat.

Baca Juga: Apakah Benar Makanan yang Dibakar atau Dipanggang Meningkatkan Risiko Kanker Usus? Ini Kata Studi

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner TikTok