Selama satu tahun, pemerintah bekerja untuk memenuhi sejumlah janji kampanye yang dibuat Presiden Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Berbagai program, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga pertumbuhan ekonomi menjadi sorotan utama masyarakat. Namun, ada satu agenda politik yang luput dari perhatian, perbaikan kualitas sanitasi dan akses air bersih merupakan satu dari sekian program kampanye, yang dijanjikan Prabowo Subianto untuk mengatasi stunting atau tengkes.
Sanitasi layak tidak hanya berperan dalam menjaga kesehatan individu, melainkan berdampak terhadap lingkungan dan kualitas hidup keseluruhan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini hanya 82,36% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi layak pada tahun 2024. Sanitasi layak di perkotaan tercatat 84,61% dan pedesaan hanya 79,85%. Sedangkan di wilayah Indonesia Timur, Khususnya Papua Pegunungan hanya 12,61% rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak. Ketimpangan ini menunjukan bahwa wilayah pedesaan masih terkendala dalam menyediakan akses sanitasi layak bagi penduduknya. Meskipun program ini bagian dari Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, akan tetapi masih jauh di bawah target nasional sekitar 90%.
Kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi secara persisten (kronis), terutama pada seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang ditandai dengan ukuran tubuh lebih kerdil dari anak seusianya akibat buruknya sanitasi dan kurangnya akses terhadap air bersih berperan dalam menyebabkan tengkes. Namun, sayangnya, selama setahun Presiden Prabowo memimpin, perkembangan program sanitasi dan akses air bersih seakan redup, tenggelam di tengah gegap gempita megaproyek unggulan MBG.
Permasalahan Tengkes Bukan Hanya Perihal Gizi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting semisal faktor sosial-ekonomi mulai dari kemiskinan, rendahnya pendidikan orang tua, akses terbatas terhadap layanan kesehatan, dan ketersediaan pangan. Selain itu, faktor lingkungan seperti sanitasi yang buruk dan keterbatasan akses air bersih turut berkontribusi terhadap meningkatnya risiko tengkes.
Upaya pencegahan tengkes tidak melulu menyangkut persoalan gizi, akses air bersih dan sanitasi layak juga penting karena menyangkut kesehatan. Tanpa akses air bersih, masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit misalnya diare, tifus, dan kolera.
Selama ini pemerintah menganggap tengkes sebagai persoalan gizi dan ketahanan pangan semata. Gizi memang merupakan faktor penting dalam tumbuh kembang anak, kualitas makanan dan asupan gizi bisa mencegah risiko tengkes. Kendati demikian, sanitasi dan kebiasaan mencuci tangan juga memiliki andil penting dalam mencegah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat berbagai faktor.
Tengkes adalah permasalah serius yang masih menghantui 4,48 juta balita pada tahun 2025. Padahal, program penurunan stunting tertuang dalam RPJMN. Upaya ini sejalan dengan tujuan United Nations dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 2.
Sanitasi yang Buruk Dapat Melemahkan Penyerapan Nutrisi
Semakin baik kondisi kesehatan lingkungan atau setiap rumah memiliki akses memadai terhadap sanitasi dan akses air bersih, semakin kecil risiko terjadinya malnutrisi. Akan tetapi, setiap balita yang tumbuh di lingkungan dengan sanitasi buruk lebih rentan mengalami diare berulang, infeksi kronis, cacingan dan gangguan penyerapan gizi sehingga memperbesar risiko stunting.
Menukil dari CNN Indonesia, menurut Dokter Mikrobiologi Klinis, Wani Gunardi, kamar mandi yang tercemar bisa mengakibatkan stunting. “Stunting dan sanitasi saling berkaitan. Kita berusaha memperbaiki gizi tapi sanitasi buruk, maka daya tahan tubuh cuma terpakai untuk melawan kuman bibit penyakit, bukan untuk memperbaiki kualitas gizi,” ujar dia.
Berdasarkan penelitian, bagaimana fenomena sanitasi yang buruk dapat menyebabkan tengkes, dapat dijelaskan melalui konsep environmental enteric dysfunction (EED). Kondisi ini terjadi ketika usus kecil meradang, akibat terinfeksi patogen secara terus menerus di lingkungan tercemar. Selain itu, vili (jaringan usus halus) yang berfungsi menyerap semua nutrisi memendek dan rusak. Akibatnya, kemampuan tubuh dalam menyerap gizi berkurang drastis sehingga memicu malnutrisi dan memperbesar risiko tengkes.
Dengan demikian, meski pemerintah terus menggulirkan program prioritas MBG (asupan gizi seimbang) tetapi, kerusakan jaringan usus akibat sanitasi buruk membuat nutrisi tidak terserap optimal. Jika buruknya sanitasi dan akses air bersih masih dikesampingkan, peradangan pada usus akibat lingkungan yang tidak sehat dapat melemahkan manfaat dari makan bergizi yang didistribusikan pemerintah.
Jumlah Kasus Stunting di Indonesia
Pemerintah menegaskan bahwa tantangan penurunan tengkes masih besar. Untuk mencapai target nasional 14,2% pada 2029 mendatang, semua pemangku kebijakan harus bekerja lebih keras dan memperkuat kolaborasi lintas sektoral, terutama di enam provinsi dengan jumlah stunting tertinggi: Jawa Barat sebanyak 638 ribu balita, Jawa Tengah 485 ribu balita, Jawa Timur sebanyak 431 ribu balita, Sumatera Utara sebanyak 316 ribu balita, Nusa Tenggara Timur sebanyak 214 ribu balita, dan Banten 209 ribu balita.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukan bahwa prevalensi stunting di indonesia berkisar 19,8%. Meskipun angka tersebut dianggap sudah memenuhi target global sekitar 20%. Akan tetapi, masih jauh di bawah target nasional 14,2% pada 2029 mendatang. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperluas penanggulangan stunting. Bukan hanya melakukan intervensi gizi, tetapi mencakup sanitasi dan akses air bersih.
Pemerataan Akses Sanitasi dan Air Bersih
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan BPS 2024 menunjukan sekitar 82,36% masyarakat indonesia yang memiliki akses sanitasi layak. Sedangkan sejumlah kawasan di Indonesia, Timur khususnya Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan tidak memiliki akses sanitasi layak.
Presiden Prabowo perlu serius merealisasi program sanitasi dan akses air bersih sebagai program unggulan nasional. Penanganan tengkes perlu dipahami bukan sekadar “apa yang dimakan” anak-anak, akan tetapi memerhatikan di mana, bagaimana, dan cara mereka tumbuh. Atas dasar itu, fasilitas sanitasi dan akses air bersih perlu dibangun secara merata, terutama daerah terpencil dan kawasan permukiman kumuh.
Langkah Tegas Pemerintah
Program pencegahan stunting tidak melulu perihal gizi, upaya mengatasi stunting perlu mencakup faktor eksternal seperti mendukung lingkungan yang sehat. Pemerintah wajib menggiatkan kampanye perilaku higienis mulai dari cuci tangan pakai sabun hingga pengelolaan sampah rumah tangga.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi angka tengkes serta mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat. Implementasi STBM dengan 5 poin dapat memudahkan upaya mengakses sanitasi yang lebih inklusif. Selain itu, program ini dapat mendorong masyarakat untuk menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, berikuti ini adalah poin-poin STBM yang dapat diaplikasikan masyarakat.
- Stop buang air besar sembarangan
- Cuci tangan pakai sabun
- Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga
- Pengelolaan limbah rumah tangga, dan
- Pengelolaan air limbah domestik rumah tangga
Air yang terkontaminasi tinja dapat meningkatkan risiko diare yang berujung tengkes. Kontaminasi air dapat disebabkan oleh dekatnya jarak antara tangki septik dengan sumber air rumah tangga yang berdekatan. Beberapa hal yang disebutkan di atas perlu menjadi bagian integral dari upaya pemerintah mempercepat penurunan angka stunting nasional.
Baca Juga: Sanitasi Lingkungan: Investasi Kesehatan untuk Anak
Referensi
- Environmental Enteric Dysfunction | PubMed Central
- Bukan Cuma Diare, Toilet Kotor Juga Sebabkan Stunting | CNN Indonesia
- Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8% | Kemenkes RI
- Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi dan Memiliki Akses terhadap Sanitasi Layak, (2024) | Badan Pusat Statistik
- Sanitasi Buruk: Pintu Menuju Stunting | Kompasiana
- Progres Janji Kampanye Prabowo | Tempo
Editor: Eka Putra Sedana

