“Dalam lima tahun ke depan, AI akan menjadi second opinion wajib bagi setiap diagnosis medis,” demikian prediksi World Medical Association dalam laporan tahun 2025. Pernyataan ini sejalan dengan pesan tegas Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam peluncuran The First Da Vinci Xi di Jakarta pertengahan Juli lalu.
Dengan nada yang gamblang namun tetap bijak, Menkes menyampaikan bahwa dokter yang menolak kolaborasi dengan kecerdasan buatan justru berisiko tertinggal dalam perkembangan dunia medis.
“Dokter harus pakai AI, AI enggak mungkin tanpa dokter. Tapi dokter yang memusuhi AI justru akan terbelakang,” tegas Budi Sadikin di hadapan para profesional kesehatan. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan realitas di mana teknologi telah merambah ruang operasi hingga klinik kecil.
AI sebagai Augmented Intelligence Bukan Pengganti, Melainkan Teknologi yang Menyempurnakan
Konsep yang menarik diungkapkan Menkes adalah pembedaan antara artificial intelligence dan augmented intelligence. “Ini AI ini augmented technology, jadi bukan artificial, augmented intelligence,” jelas Budi Sadikin. Pemilihan kata ini sangat krusial—ia menegaskan bahwa teknologi berperan sebagai penambah kecerdasan manusia, bukan pengganti.
Dalam konteks bedah robotik seperti Da Vinci Xi dan Mako Spine yang disebutkan Menkes, AI berfungsi sebagai sistem navigasi presisi. “Langsung pakai robot, di sini kan lebih precise (tepat). Mereka belajar tinggal nanti dicocokin dengan orang Indonesia,” ujarnya. Sistem ini mampu memetakan titik-titik kritis pada tubuh pasien dengan akurasi milimeter, sesuatu yang sulit dicapai mata manusia saja.
Tantangan Implementasi yang Membuat Dilema Antara Potensi dan Adaptasi
Meski manfaat AI dalam medis sudah terbukti, jalan menuju adopsi massal tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi termasuk:
1. Kesesuaian dengan Karakteristik Pasien Indonesia
Seperti disinggung Menkes (“dicocokin dengan orang Indonesia”), model AI yang dikembangkan berdasarkan data pasien asing perlu dikalibrasi ulang untuk populasi lokal. Banyak data pasien yang dipakai berasal dari data pasien negara barat. Sehingga tidak memiliki kecocokan dengan kondisi genetik serta fisik orang Indonesia
2. Kesenjangan Teknologi antara RS Rujukan dan Fasilitas Kesehatan Dasar
Tidak semua rumah sakit mampu membeli sistem canggih seperti Da Vinci Xi yang harganya mencapai puluhan miliar rupiah. Kurang meratanya fasilitas dan infrastruktur rumah sakit Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri.
3. Resistensi dari Tenaga Medis Senior
Dokter yang telah puluhan tahun berpengalaman dengan metode konvensional perlu waktu untuk beradaptasi dengan paradigma baru ini. Pelatihan memerlukan waktu yang cukup panjang dalam melakukan pembiasaan serta adaptasi dengan teknologi modern ini.
Peluang Meningkatnya Pelayanan Kesehatan Nasional
Di balik tantangan, peluang yang ditawarkan AI sungguh menjanjikan:
- Operasi Lebih Aman: Sistem navigasi AI mengurangi risiko human error dalam prosedur bedah kompleks.
- Diagnosis Lebih Cepat: Algoritma bisa menganalisis ratusan gambar radiologi dalam waktu singkat, membantu radiolog mengidentifikasi kelainan.
- Pelayanan Merata: Dengan telemedicine berbasis AI, pasien di daerah terpencil bisa mendapatkan konsultasi spesialis tanpa perlu menempuh perjalanan jauh.
Kolaborasi Manusia dan Mesin
Poin kunci yang ditekankan Menkes adalah keselarasan antara keahlian dokter dan presisi teknologi. Dalam contoh bedah robotik, keputusan akhir tetap berada di tangan ahli bedah—AI hanya memastikan setiap gerakan dilakukan dengan ketepatan maksimal.
Pendekatan ini juga diterapkan di negara-negara dengan sistem kesehatan maju. Jepang, misalnya, telah mengintegrasikan AI-assisted diagnosis di 90% rumah sakitnya, namun tetap menempatkan dokter sebagai pengambil keputusan akhir.
Siap Menyambut Era Baru dengan Bijaksana
Pesan Menkes Budi Sadikin bukanlah ancaman, melainkan ajakan bijak untuk merangkul perubahan. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan medis selalu berjalan beriringan dengan teknologi—dari penemuan stetoskop hingga MRI.
Kunci sukses di era AI terletak pada keseimbangan: memanfaatkan ketepatan mesin tanpa kehilangan sentuhan manusiawi yang menjadi esensi pelayanan kesehatan. Seperti kata Menkes, ini tentang augmented intelligence—kecerdasan yang diperkuat, bukan digantikan. Bagi dokter yang siap berkolaborasi, masa depan praktik medis yang lebih presisi, efisien, dan merata sedang menanti.
Baca Juga: Chatbot AI vs Ahli Gizi: Apakah AI Bisa Gantikan Peran Dietitian?
Referensi
- Menkes: Dokter Harus Pakai AI, yang Memusuhi AI Akan Terbelakang – Kompas
- AI for Good Summit 2025 – Enabling AI for Health Innovation and Access – World Health Organization
- Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional (2022), BAPPENAS