Fortifikasi pada Pangan: Tujuan dan Manfaat 

Masalah gizi di Indonesia digambarkan dengan double burden atau beban ganda. Hal ini terlihat dari masalah kelebihan gizi dan kekurangan gizi yang terjadi secara beriringan. Masalah gizi di Indonesia terdiri dari kelebihan berat badan, gizi buruk (wasting dan stunting), dan kekurangan gizi mikro. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah gizi tersebut. Fortifikasi dipilih sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan gizi mikro. Bagaimana peran fortifikasi dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia?

Pengenalan Fortifikasi

World Health Organization (WHO), atau Organisasi Kesehatan Dunia, menjelaskan bahwa fortifikasi adalah praktik meningkatkan satu atau zat gizi mikro — misalnya vitamin dan mineral — ke dalam makanan atau bumbu untuk meningkatkan kualitas gizi pada bahan pangan dan memberikan keuntungan pada kesehatan masyarakat.

Upaya fortifikasi juga dapat mengembalikan zat gizi mikro yang hilang selama proses pengolahan. Fortifikasi dilakukan sebagai intervensi yang berkontribusi pada tindakan preventif (pencegahan), mengurangi dan mengontrol defisiensi zat gizi mikro.

Fortifikasi digunakan untuk memperbaiki masalah defisiensi gizi pada kelompok masyarakat umum atau kelompok masyarakat khusus (misalnya anak-anak dan ibu hamil). Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi  menjelaskan bahwa fortifikasi pangan, atau pengayaan gizi, dilakukan untuk mencapai perbaikan gizi masyarakat dan mengutamakan ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan kelompok rawan gizi lainnya. 

Urgensi Fortifikasi

Menurut WHO, fortifikasi merupakan cara yang murah-namun-efektif untuk menyelesaikan masalah gizi secara massal. Gejala kekurangan zat gizi mikro tidak terlihat sehingga sering luput dari perhatian. 

Penelitian Dobe dkk., yang diterbitkan di jurnal Clinical Epidemiology and Global Health, menjelaskan bahwa fortifikasi merupakan cost-effective investment yang dapat menyediakan zat gizi dan memberikan efek yang sangat signifikan.

Praktik ini sudah dilakukan oleh berbagai negara sebagai cara efektif untuk menanggulangi masalah gizi. WHO merekomendasikan fortifikasi dalam skala besar dilakukan untuk melawan defisiensi vitamin dan mineral, termasuk defisiensi yodium, dan anemia dan defisiensi zat besi.

Pangan yang Wajib Difortifikasi

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pangan Nasional, membuat peraturan mengenai pangan yang wajib difortifikasi. Pemilihan pangan yang wajib difortifikasi sesuai dengan bukti saintifik mengenai bahan pangan yang sering digunakan oleh masyarakat. Standar fortifikasi ditentukan melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang didokumentasikan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Berikut merupakan bahan pangan yang wajib difortifikasi oleh Badan Pangan Nasional.

1. Tepung Terigu

Tepung terigu dipilih sebagai bahan pangan yang difortifikasi karena tingkat konsumsinya. Menurut kajian UNICEF mi dan roti, yang terbuat dari tepung terigu, merupakan makanan pokok tertinggi kedua setelah beras di Indonesia. Walaupun lebih sering dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan dan rumah tangga dengan penghasilan tinggi, fortifikasi tepung terigu mudah dilakukan, hemat biaya, dan memberikan manfaat bagi konsumen.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 61 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan secara Wajib menjelaskan bahwa tepung terigu difortifikasi dengan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1 (tiamin), vitamin B2 (riboflavin), dan vitamin B9 (asam folat). Takaran fortifikan diatur dalam SNI 3751:2018. Penambahan fortifikan diharapkan dapat menanggulangi masalah gizi defisiensi zat besi (anemia). 

2. Minyak Goreng Sawit

Minyak goreng sawit dipilih sebagai bahan pangan yang difortifikasi karena tingkat konsumsinya. Menurut kajian UNICEF, sekitar separuh minyak kelapa sawit digunakan untuk makanan; 32% digunakan oleh industri makanan dan sisanya oleh rumah tangga. 

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Minyak Goreng Sawit Secara Wajib menjelaskan bahwa minyak goreng sawit difortifikasi dengan vitamin A dan/atau provitamin A. Standarisasi minyak goreng sawit diatur dalam SNI 7709:2019. Penambahan fortifikan ini diharapkan dapat mengurangi masalah gizi defisiensi vitamin A. 

3. Garam

Garam dipilih sebagai bahan pangan yang difortifikasi karena frekuensi konsumsinya. Menurut kajian UNICEF, garam sering digunakan untuk kebutuhan industri dan nonindustri. Fortifikasi pada garam adalah menambahkan mineral iodium.

Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa iodisasi pada garam dilakukan untuk menanggulangi Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Peraturan Menteri Perindustrian  Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Garam Konsumsi Beriodium menjelaskan bahwa garam konsumsi difortifikasi dengan iodium. Standarisasi garam konsumsi diatur dalam SNI 3556:2024. 

Tips: Perhatikan Label Pangan 

perhatikan-label-pangan
Sumber: Koleksi Editorial

Label pangan memuat sejumlah informasi mengenai kondisi pangan yang disediakan. Pastikan pangan yang dibeli telah difortifikasi sesuai dengan panduan pemerintah. Pada garam memiliki kata “beriodium” yang menunjukkan bahwa pangan tersebut telah difortifikasi iodium. Label pangan pada tepung terigu memiliki kata “difortifikasi dengan vitamin dan mineral” dan menuliskan komposisi bahan berupa “tepung terigu, vitamin B1, vitamin B6, asam folat, zat besi, dan seng”. Label pangan pada minyak goreng memiliki kata “fortifikasi vitamin A”. 

Setelah mengetahui manfaat pangan fortifikasi, yuk gunakan pangan fortifikasi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi sehari.

Referensi

  1. Food Fortification – World Health Organization
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, Republik Indonesia
  3. Fortification as an Effective Strategy to Bridge Iron Gaps During Complementary Feeding (2018), Clinical Epidemiology and Global Health
  4. Kajian Lanskap Fortifikasi Pangan Berskala Besar di Indonesia, UNICEF
  5. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 61 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan Secara Wajib, Republik Indonesia
  6. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Minyak Goreng Sawit Sebagai Bahan Makanan Secara Wajib, Republik Indonesia
  7. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Garam Konsumsi Beriodium Sebagai Bahan Makanan Secara Wajib, Republik Indonesia

Editor: Eka Putra Sedana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *