Turun berat badan memang jadi impian banyak orang. Namun, jika setiap kali makan justru menimbulkan rasa cemas, masihkah pola diet itu bisa disebut sehat? Jangan-jangan, itu bukan diet sehat, melainkan diet toksik yang merusak hubungan dengan makanan.
Apa Itu Diet Toksik?

Diet toksik merupakan pola makan ekstrem yang menargetkan penurunan berat badan secara cepat, namun mengabaikan kebutuhan gizi tubuh. Ciri umumnya meliputi pembatasan kalori berlebihan, penghindaran banyak jenis makanan, serta rasa bersalah setelah makan. Akibatnya, tubuh kekurangan zat gizi dan tekanan mental pun meningkat.
Dilansir dari jurnal Children, praktik diet ekstrem ini berkaitan dengan Orthorexia Nervosa (ON), yaitu obsesi terhadap makanan “murni” atau “sehat” yang disertai pantangan berlebihan. Meski niat awalnya positif, pola ini justru menciptakan ketidakseimbangan gizi dan mengganggu fungsi sosial serta psikologis.
Selain itu, dalam Jurnal Ilmu Kesehatan melaporkan bahwa tekanan sosial yang kuat, pandangan negatif terhadap tubuh, dan stres dapat mendorong seseorang mencoba fad diet yang akhirnya menyebabkan binge eating dan bulimia. Lingkungan terdekat seperti teman, keluarga, dan media juga sering kali mendorong seseorang mengejar tubuh ideal lewat cara yang tidak sehat, hingga berdampak pada gangguan hormon dan risiko defisiensi gizi, termasuk osteoporosis.
Tanda-Tanda Kamu Terjebak Diet Toksik

Beberapa gejala yang sering muncul saat seseorang menjalani diet toksik atau diet yang tidak sehat antara lain:
- Rasa bersalah yang terus-menerus muncul setelah makan, seolah-olah melakukan kesalahan besar.
- Menghindari makan bersama orang lain karena takut tidak bisa mengontrol asupan.
- Terlalu obsesif dalam menghitung kalori setiap makanan yang dikonsumsi, hingga terasa membebani pikiran.
- Timbul rasa gagal dan kekecewaan ketika tidak mampu menjalankan jadwal makan yang sangat ketat.
- Berat badan memang turun, tetapi tubuh menjadi lemas, mudah capek, dan rentan sakit.
Jika kamu mengalami beberapa tanda di atas, bisa jadi diet yang kamu jalani sudah melewati batas sehat dan mulai berbahaya. Ingatlah bahwa tubuh membutuhkan energi dan zat gizi yang cukup untuk tetap bugar, bukan hanya fokus pada angka di timbangan.
Mengapa Diet Toksik Berbahaya?

Berdasarkan laporan dalam jurnal Nutrients, menurunnya berat badan secara drastis berpotensi mengakibatkan kehilangan massa otot vital dalam tubuh. Selain itu, kondisi ini juga meningkatkan kemungkinan terjadinya anemia, ketidakseimbangan hormon, dan gangguan pada sistem metabolisme. Jika diet yang dijalani bersifat toksik dan berlangsung dalam jangka panjang, dampaknya tidak hanya fisik, tapi juga psikologis, seperti munculnya gangguan kecemasan hingga depresi.
Studi lain dalam Eating and Weight Disorders – Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity menunjukkan bahwa ON bisa berdampak negatif pada kualitas hidup. Penderitanya cenderung mengalami kecemasan, rasa bersalah ekstrem, hingga menarik diri secara sosial. Diet tanpa empati terhadap tubuh dan kesadaran penuh dapat memicu gangguan makan seperti ON dan binge eating.
Oleh karena itu, penting untuk menjalani pola makan dan gaya hidup yang seimbang serta memperhatikan kesehatan mental agar tercipta kesejahteraan secara menyeluruh.
Bagaimana Menghindari Diet Toksik?
Langkah awal adalah menyadari bahwa kesehatan bukan sekadar berat badan ideal. Fokus pada pola makan seimbang dan kebiasaan hidup aktif jauh lebih berkelanjutan. Kamu bisa memulai dengan:
- Makan tiga kali sehari dengan porsi cukup
- Tidak melewatkan sarapan
- Konsumsi camilan sehat seperti buah atau kacang
- Memperhatikan sinyal lapar dan kenyang dari tubuh
- Tidak menyalahkan diri saat makan “tidak sempurna”
Pendekatan mindful eating pun bisa jadi solusi. Dengan makan secara sadar, kamu akan lebih menghargai tubuh dan kebutuhan zat gizinya. Bukan malah terjebak dalam aturan diet ketat yang menyiksa.
Konsultasi dan Ubah Pola Pikir: Kunci Keluar dari Siklus Diet Toksik
Jika kamu merasa kesulitan keluar dari siklus diet toksik, jangan ragu untuk mencari bantuan. Konsultasi dengan ahli gizi atau psikolog dapat membantu kamu membangun pola makan yang lebih sehat, realistis, dan berkelanjutan. Ingat, perubahan gaya hidup tidak terjadi dalam semalam, tapi butuh waktu dan proses agar tubuh dan pikiran bisa benar-benar pulih.
Mulailah sekarang juga dengan langkah kecil menuju pola hidup yang lebih sehat dan bahagia. Jangan tunggu sampai kondisi memburuk. Ambil tindakan positif hari ini untuk masa depan yang lebih baik!
Baca Juga: Mengenal Binge eating Disorder: Perilaku Gangguan Makan
Editor: Mentari Suci Ramadhini Sujono, S.Gz., Dietisien
Referensi
- Exploring the moderating role of mindfulness, mindful eating, and self‑compassion on the relationship between eating‑disordered quality of life and orthorexia nervosa (2023), Eating and Weight Disorders – Studies on Anorexia, Bulimia and Obesity
- Citra Tubuh Dengan Gangguan Makan Binge Eating Disorder Pada Remaja Putri Usia 16-18 Tahun (2024), Jurnal Ilmu Kesehatan
- Hubungan Fad Diet, Citra Tubuh, Stres, Tekanan Teman Sebaya dengan Gangguan Makan pada Remaja Putri Usia 16-18 Tahun (2024), Amerta Nutrition
- Orthorexia Nervosa in Adolescents and Young Adults: A Literature Review (2022), Children
- Perancangan Desain Karakter Webcomic Pencegahan Diet Toxic untuk Remaja Usia 18-21 Tahun (2025), Jurnal Media Informatika
- Weight Loss Strategies and the Risk of Skeletal Muscle Mass Loss (2021), Nutrients