Data terbaru dari International Egg Commission menunjukkan bahwa dunia mengonsumsi lebih dari 1,3 triliun butir telur setiap tahun—diolah dalam berbagai tingkat kematangan. Di Jepang, telur mentah diaduk di atas nasi hangat menjadi hidangan mewah.
Di Eropa, telur setengah matang dengan yolk cair adalah seni kuliner. Sementara di banyak negara, telur matang sempurna menjadi pilihan utama. Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya sains memandang perbedaan nutrisi dan keamanan berdasarkan tingkat kematangan telur?
Telur Mentah: Protein Lengkap yang Belum Terbuka Potensinya
Konsumsi telur mentah sering dikaitkan dengan atlet dan binaragawan yang ingin mendapatkan protein maksimal. Faktanya, studi dalam Journal of Nutrition mengungkapkan bahwa tubuh hanya menyerap 50% protein dari telur mentah, dibandingkan 90% dari telur matang. Biotin dalam putih telur mentah juga terikat oleh avidin—protein yang rusak oleh proses pemanasan.
Namun, penelitian dari University of Tokyo menemukan bahwa telur mentah dari ayam yang divaksinasi salmonella dan diproses secara higienis memiliki risiko bakteri minimal. Di Jepang, sistem Poultry Safety Assurance memastikan hanya telur dengan standar tertentu yang bisa dikonsumsi mentah.
Telur Setengah Matang: Pertemuan Rasa dan Nutrisi
Memasak telur dengan teknik sous vide pada suhu 63°C selama 45 menit menghasilkan kuning telur yang tetap cair sementara putih telur membentuk tekstur seperti gel. Metode ini memiliki beberapa manfaat signifikan.
Salah satunya adalah mempertahankan kadar lutein dan zeaxanthin, dua antioksidan penting bagi kesehatan mata, dengan tingkat 30% lebih tinggi dibandingkan telur yang dimasak hingga matang penuh, menurut penelitian dari American Journal of Clinical Nutrition.
Selain itu, teknik ini meningkatkan penyerapan zat besi hingga 18% dibandingkan telur mentah, menjadikannya pilihan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan asupan zat besi optimal. Tidak hanya itu, metode ini juga dapat mengurangi risiko alergi terhadap protein telur, yang sering kali muncul akibat konsumsi telur dalam bentuk mentah.
Namun, perlu diperhatikan bahwa bagi ibu hamil, lansia, atau individu dengan imunitas rendah, konsumsi telur setengah matang tetap berpotensi membawa risiko salmonella jika tidak diproses dengan benar. Oleh karena itu, pastikan teknik memasak yang digunakan tetap memperhatikan aspek keamanan pangan untuk menghindari kemungkinan kontaminasi.
Telur Matang Sempurna: Ketika Keamanan Mengalahkan Kesempurnaan Nutrisi
Memasak telur hingga suhu 70°C efektif dalam membunuh semua bakteri patogen, sehingga lebih aman untuk dikonsumsi. Namun, proses pemanasan ini juga menyebabkan beberapa perubahan dalam kandungan nutrisi telur.
Salah satu dampaknya adalah oksidasi kolesterol dalam kuning telur, meski penelitian dari NIH Study menunjukkan bahwa hal ini tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar kolesterol dalam darah.
Selain itu, pemanasan tinggi dapat mengurangi kadar vitamin B12 hingga 20% dan vitamin D hingga 15%. Sehingga ada sedikit penurunan kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh. Di sisi lain, memasak telur hingga matang justru meningkatkan ketersediaan bioaktif kolin. Kolin adalah nutrisi yang penting bagi fungsi otak, hingga 30%.
Teknik memasak juga memainkan peran penting dalam mempertahankan kandungan nutrisi telur. Sebagai contoh, telur rebus mempertahankan lebih banyak omega-3 dibandingkan telur goreng. Hal itu terjadi karena tidak terpapar langsung dengan suhu tinggi yang dapat menyebabkan degradasi lemak sehat tersebut.
Oleh karena itu, pemilihan metode memasak yang tepat dapat membantu menjaga keseimbangan antara keamanan pangan dan kandungan nutrisi telur.
Mitos Warna Yolk dan Tingkat Kematangan
Banyak yang mengira yolk oranye lebih bergizi daripada yolk kuning. Padahal, warna hanya menunjukkan pakan ayam—yolk oranye mengandung lebih banyak karotenoid, tetapi tidak secara signifikan memengaruhi nilai gizi utama.
Demikian pula, anggapan bahwa yolk hijau pada telur rebus terlalu lama beracun adalah keliru. Itu hanya reaksi antara sulfur di putih telur dan zat besi di yolk—tidak berbahaya, meski mungkin memengaruhi rasa.
Telur—dalam bentuk apa pun—tetap menjadi salah satu sumber nutrisi paling efisien di planet ini. Daripada terpaku pada pertanyaan “mana yang terbaik”, mungkin lebih bijak mempertimbangkan “kapan masing-masing tepat dikonsumsi”.
Seperti halnya banyak aspek dalam gizi, jawaban tentang tingkat kematangan telur yang ideal ternyata tidak hitam putih. Ia berada di spektrum yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan, budaya makan, dan tentu saja—kenikmatan rasa yang subjektif.
Baca Juga: 6 Manfaat Telur Asin yang Menyehatkan Tubuh dan Efektif Turunkan Berat Badan
Referensi
- Global Egg Consumption Trends (2024), World Egg Organozation
- Raw Eggs To Support Postexercise Recovery in Healthy Young Men: Did Rocky Get It Right or Wrong? (2022), Journal of Nutrition
- A Choice Experiment for Different Preparation Methods of Eggs: The Impact of Sensory, Health, and Animal Welfare (2025), Food Quality and Preference
- Egg Consumption and Risk of Coronary Artery Disease, Potential Amplification by High Genetic Susceptibility: A Prospective Cohort Study (2023), American Journal of Clinical Nutrition
- Healthy Eating As You Age: Know Your Food Groups – National Institute of Health