Makan Kalap Berujung Guilty Feelings? Yuk, Pahami 5 Hal Ini!

Pernah nggak sih, kamu merasa semangat banget ingin menjalani pola makan sehat, tapi tiba-tiba… satu slice kue berubah jadi tiga. Lalu datanglah rasa bersalah, ucapan “Duh, aku gagal lagi,” dan akhirnya memilih menyerah. “Sudahlah, nanti aja mulai lagi.”

Tenang, kamu nggak sendiri. Banyak orang pernah atau bahkan sering mengalami hal ini. Tapi, penting untuk kamu ketahui bahwa perasaan bersalah setelah makan berlebih itu wajar, bukan tanda bahwa kamu lemah atau gagal total. Alih-alih tenggelam dalam rasa bersalah, yuk pahami lima hal penting berikut yang bisa membantumu berdamai dengan diri dan kembali ke jalur sehat tanpa drama berlebih.

1. Kalap Bukan Tanda Gagal Total

Dalam dunia gizi, episode makan berlebih sesekali, terutama saat stres atau emosi memuncak adalah hal yang umum terjadi. Bahkan dalam literatur ilmiah, ini dikenal sebagai emotional eating. Salah satu tulisan terkait Beyond the Plate, menyebutkan bahwa emotional eating menjadi fenomena kompleks yang memang sering terjadi, disebabkan oleh keadaan emosional seperti stres, kecemasan, atau kesepian. 

Sekali dua kali kalap bukan berarti kamu kehilangan kendali sepenuhnya atas pola makanmu. Yang perlu diingat bahwa progress hidup sehat itu bukan garis lurus. Kadang naik, kadang turun. Jangan biarkan satu momen “jatuh” membuatmu berhenti total. 

2. Rasa Bersalah Perlu Dipahami, Bukan Dihindari

Merasa bersalah setelah makan terlalu banyak adalah reaksi emosional alami. Namun, penting untuk mengenali bahwa fungsi rasa bersalah itu tepatnya sebagai sinyal, bukan hukuman. Rasa bersalah bisa jadi motivator untuk memperbaiki kebiasaan, asal tidak berubah menjadi rasa malu yang melemahkan harga diri. 

Oleh karena itu, validasi dulu perasaanmu (“Oke, aku menyesal sudah makan berlebihan”), lalu alihkan ke pertanyaan konstruktif, seperti “Kenapa tadi aku makan begitu banyak, ya? Apa aku sedang stres atau hanya butuh hiburan?” Dengan mulai mengenali alasan kamu kalap ketika makan, maka semakin kamu paham dan mencoba berpikir juga untuk cara pengendalian yang lebih baik ke depannya. 

3. Semua Orang Butuh Ruang untuk Kembali Bangkit

Salah satu jebakan dari rasa bersalah adalah munculnya pemikiran “percuma usaha dietku kemarin.” Padahal, ruang untuk jatuh dan bangkit itu adalah bagian penting dari perubahan gaya hidup.

Kamu nggak perlu menunggu “hari Senin” untuk kembali ke pola makan sehat, tapi kamu bisa mulai sejak jam makan berikutnya. Orang-orang yang bisa memaafkan diri setelah makan berlebih bahkan mungkin lebih mampu kembali ke kebiasaan sehat dibanding yang terus menyalahkan diri.

4. Makan Bukan Cuma Soal Kalori, Tapi Juga Emosi

Sebagaimana yang sempat dibahas pada poin sebelumnya, bahwa sering kali kita kalap bukan karena lapar fisik, tapi lapar emosional. Misalnya stres karena beban kerja, konflik pribadi, atau kelelahan mental. Belajar mengenali jenis lapar (fisik atau emosional) juga menjadi kunci untuk mengelola pola makan yang lebih sehat dan penuh kesadaran (mindful eating).

Kamu bisa mencoba untuk bertanya ke diri sendiri sebelum makan, “Apakah aku benar-benar lapar, atau hanya butuh pelukan dan istirahat?” Strategi ini bisa membantu kamu menunda impuls kalap dan menggantinya dengan cara coping yang lebih sehat.

5. Perubahan Gaya Hidup Itu Maraton, Bukan Sprint

Pola makan sehat bukan soal “sempurna setiap hari”, tapi soal konsistensi jangka panjang. Kalau sesekali kamu kalap, itu tidak menghapus semua progres yang sudah kamu capai.

Yang terpenting bukan berapa kali kamu jatuh, tapi seberapa sering kamu memutuskan untuk bangkit lagi. Pelan-pelan, belajar dari setiap episode, dan terus bergerak maju. Itulah makna gaya hidup sehat yang realistis. 

Berbaik Hatilah pada Diri Sendiri

Sumber: Pixabay

Daripada menjadikan rasa bersalah sebagai alasan untuk menyerah, lebih baik jadikan itu sebagai pengingat bahwa kamu sedang belajar. Sama seperti belajar naik sepeda, sesekali jatuh adalah bagian dari proses. Yang kamu butuhkan bukan self-judgment, tapi self-compassion.

Ingat, kamu sedang membangun hubungan jangka panjang dengan makanan, yang pasti ada masa naik turunnya. Tetap jalan terus, karena kamu layak untuk merasa baik, makan enak, dan hidup sehat tanpa drama yang menyiksa!

Baca Juga: 5 Tips Mengatasi Keinginan untuk Makan Berlebih

Editor: Rheinnhard, S.Gz., Dietisien

Referensi

  1. Beyond the Plate (2024), Advances in Medical Diagnosis, Treatment, and Care (AMDTC) Book Series
  2. The Relation of Dietary Restraint and Affect with Food Choice and the Experience of Guilt after Eating (2019), Current Psychology
  3. Makan secara Emosional dan Stres Psikologis: Mengungkap Perjuangan Tersembunyi Mahasiswa Internasional di Surabaya (2024), Amerta Nutrition
  4. Relationship between Emotional Eating, Consumption of Hyperpalatable Energy-Dense Foods, and Indicators of Nutritional Status: A Systematic Review (2022), Journal of Obesity

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *