Suka Ngemil Saat Stres? Saatnya Mengenal Coping Mechanism

Apakah kamu termasuk kelompok orang yang suka ngemil terus saat lagi banyak tekanan atau stres? Entah itu keripik gurih, cokelat manis, atau minuman boba kesayangan, rasanya semua jadi “teman pelipur lara” yang wajib hadir. Tapi, tahukah kamu bahwa kebiasaan ini sebenarnya bisa jadi sinyal penting dari cara tubuh dan pikiran kita merespons stres? Dalam dunia psikologi, perilaku seperti ini disebut sebagai coping mechanism

Apa Itu Coping Mechanism?

Coping mechanism merupakan strategi yang dilakukan oleh seseorang dalam menangani stres atau emosi negatif. Setiap orang punya cara berbeda dalam menghadapi masalah. Ada yang memilih olahraga, meditasi, curhat ke teman, bahkan ada juga yang memilih untuk melampiaskannya ke makanan.

Ngemil saat stres atau emotional eating adalah salah satu jenis coping mechanism yang bersifat tidak adaptif. Artinya, perilaku ini mungkin bisa membuat kita merasa lebih baik dalam jangka pendek, tapi tidak menyelesaikan akar masalah dan bahkan bisa berdampak negatif pada kesehatan dalam jangka panjang. Sebagaimana yang disebutkan dalam studi Highlights in Science Engineering and Technology, bahwa pelampiasan stres ke makanan, khususnya yang mengandung kalori tinggi, memang akan memberikan perasaan senang dan kenyamanan. Akan tetapi, ini hanya memberikan efek menenangkan yang sifatnya sementara. 

Mengapa Ngemil Jadi Pilihan Saat Stres?

Stres merupakan sebuah kondisi yang dapat meningkatkan koneksi sinaptik di hipotalamus lateral yang mengontrol neuron dopamin, yang akhirnya menyebabkan peningkatan konsumsi makanan berkalori tinggi. Sebuah studi dari jurnal Foods, menyatakan bahwa saat stres, seseorang bisa menemukan kesenangan kembali melalui makanan. 

Hal ini dikarenakan perilaku makan atau ngemil dapat memberikan kenyamanan secara emosional.  Makanan-makanan tersebut dapat memberikan sensasi nyaman dan “menghibur” karena memengaruhi hormon dopamin di otak, yaitu hormon yang terkait dengan rasa senang. 

Sebagaimana yang dijelaskan dalam studi dari BioMed Research International, bahwa mengunyah terbukti bisa meningkatkan kadar dopamin di hippocampus ventral, yang membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh stres dan meningkatkan rasa senang. 

Fenomena ini disebut juga dengan istilah comfort eating. Namun sayangnya, kebiasaan ini cenderung membuat kita kehilangan kontrol, mengabaikan sinyal kenyang dari tubuh, dan berujung pada kelebihan kalori.

Dampak Negatif Emotional Eating

1. Kenaikan Berat Badan yang Tidak Terkontrol

Sumber: Pixabay

Pelampiasan stres ke makanan dapat menyebabkan seseorang jadi ngemil berlebihan. Apalagi tanpa rasa lapar yang sebenarnya, bisa menyebabkan surplus kalori dan menumpuk sebagai lemak tubuh. Baik stres jangka pendek maupun jangka panjang dapat memberikan dampak signifikan terhadap fungsi otak serta memicu respons tubuh dalam memproduksi hormon tertentu, salah satunya adalah kortisol. Hormon ini berperan penting dalam mengatur keseimbangan energi dalam tubuh sekaligus memengaruhi rasa lapar.

Ketika kadar kortisol dalam tubuh meningkat, proses glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa dari sumber non-karbohidrat akan terstimulasi, yang pada akhirnya bisa menimbulkan resistensi insulin. Selain itu, pelepasan kortisol juga berdampak langsung pada otak dengan merangsang peningkatan nafsu makan. Kombinasi antara peningkatan konsumsi makanan dan kondisi hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) yang menyertainya, dapat berkontribusi besar terhadap perkembangan obesitas. 

2. Gangguan Pencernaan 

Sumber: Pixabay

Makanan yang cenderung dipilih saat stres biasanya kurang serat, serta tinggi kalori, gula, dan lemak jenuh. Ini bisa menyebabkan masalah pencernaan dan kekurangan zat gizi esensial. Banyak yang tidak menyadari bahwa konsumsi gula yang berlebihan dapat memengaruhi keseimbangan bakteri di dalam usus. Asupan makanan dan minuman manis yang tinggi gula dapat mendorong pertumbuhan bakteri pemicu peradangan, sekaligus mengurangi jumlah bakteri yang berperan melindungi usus. 

Ketidakseimbangan ini dapat mengganggu fungsi saluran cerna, menurunkan daya tahan tubuh, dan melemahkan lapisan pelindung usus. Jika terus dibiarkan, kondisi ini bisa menyebabkan peradangan kronis yang tidak hanya berdampak pada pencernaan, tetapi juga berisiko memicu gangguan metabolik seperti resistensi insulin. Itulah sebabnya, penting untuk membatasi konsumsi gula demi menjaga kesehatan usus dan mencegah berbagai keluhan seperti kembung, nyeri perut, sembelit, atau diare. 

3. Ketergantungan Emosional pada Makanan

Sumber: Pixabay

Ketergantungan emosional pada makanan terjadi ketika seseorang terbiasa mengandalkan makanan, terutama yang tinggi gula atau lemak, sebagai cara utama untuk meredakan stres atau emosi negatif. Dalam situasi seperti ini, makan bukan lagi dipicu oleh rasa lapar fisik, namun sebagai pelarian dari rasa cemas, sedih, atau tekanan psikologis lainnya. Makanan memberikan kenyamanan sesaat, tapi tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya dihadapi.

Jika kebiasaan ini dibiarkan, seseorang bisa kesulitan mengembangkan cara coping yang sehat. Emosi yang seharusnya diolah dengan teknik seperti refleksi diri, olahraga, atau berbicara dengan orang lain malah terus ditekan lewat makan. Akibatnya, pola makan menjadi tidak terkontrol dan berpotensi memicu masalah kesehatan, baik fisik maupun mental. 

Strategi Mengganti Coping Mechanism yang Tidak Sehat

Berikut beberapa tips untuk menggantikan ngemil emosional dengan mekanisme coping yang lebih sehat:

– Kenali Pemicu Emosional

Coba perhatikan kapan kamu cenderung ngemil, apakah setelah bertengkar, saat pekerjaan menumpuk, atau ketika merasa kesepian? Dengan memahami kapan dorongan untuk ngemil muncul, kamu bisa menemukan pola tertentu dalam kebiasaanmu, termasuk langkah awal dalam mengendalikannya.

– Alihkan ke Aktivitas Lain yang Lebih Sehat

Upaya mencari aktivitas pengalihan yang lebih sehat dan positif bisa membantu kamu memutus kebiasaan ngemil emosional. Aktivitas sederhana seperti membereskan rumah, mendengarkan lagu favorit, atau menonton film, bisa membawa rasa puas tanpa harus melibatkan makanan. 

– Latihan Mindful Eating

Teknik ini mengajak kita untuk makan dengan kesadaran penuh. Termasuk merasakan tekstur, aroma, dan rasa makanan, serta mengenal sinyal kenyang dari tubuh.

– Tetapkan Jadwal Makan yang Teratur

Saat jadwal makan kamu teratur, tubuh tidak perlu mengalami lonjakan rasa lapar yang ekstrem, yang sering kali memicu keinginan ngemil berlebihan. Makan pada waktu yang konsisten juga mendukung metabolisme tubuh bekerja lebih optimal. 

Baca Juga: Ngemil Remaja Indonesia: Risiko Kesehatan & Solusi Praktis

Editor: Rheinhard, S.Gz., Dieitisen

Referensi

  1. Relationship Between Stress and Emotional Eating (2023), Highlights in Science Engineering and Technology
  2. Stress-driven potentiation of lateral hypothalamic synapses onto ventral tegmental area dopamine neurons causes increased consumption of palatable food (2022), Nature Communications
  3. Is Stress Taking the Pleasure Out of Food?—A Characterization of the Food Pleasure Profiles, Appetite, and Eating Behaviors of People with Chronic Stress (2022), Foods
  4. Chewing Prevents Stress-Induced Hippocampal LTD Formation and Anxiety-Related Behaviors: A Possible Role of the Dopaminergic System (2015), BioMed Research International
  5. Hubungan Emotional Eating Dengan Kejadian Obesitas Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UPN “Veteran” Jakarta (2023), Jurnal Mahasiswa dan Peneliti Kesehatan (JUMANTIK)
  6. High Intake of Sugar and the Balance between Pro- and Anti-Inflammatory Gut Bacteria (2020), Nutrients
  7. Hubungan Tingkat Stres, Emotional Eating, dan Pengetahuan Gizi dengan Konsumsi Makanan Cepat Saji Mahasiswa IPB (2024), Jurnal Gizi Dietetik
  8. 7 Cara Efektif Mengatasi Stres Kerja untuk Lebih Produktif (2025), Kementerian Kesehatan RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *