Di balik semangat yang membuncah menjelang marathon, tersembunyi satu organ yang bekerja lebih keras dari yang terlihat: jantung. Ia bukan hanya mesin pemompa darah, tetapi juga penentu apakah tubuh mampu bertahan di kilometer ke-30, atau justru menyerah di tengah jalan. Bagi pelari usia produktif, menjaga jantung sebelum marathon bukan sekadar saran medis. Ia adalah strategi bertahan hidup. Seorang dokter spesialis penyakit jantung di RS Mayapada Hospital, Aron Husink menyatakan:
“Olahraga lari dapat meningkatkan kekuatan otot jantung, memperlancar peredaran darah, serta mengurangi kemungkinan terjadinya serangan jantung. Namun, sama seperti olahraga lainnya, lari juga perlu disesuaikan dengan kondisi tubuh masing-masing individu.”
Marathon bukan olahraga biasa. Ia menuntut stamina, disiplin, dan kesiapan sistem kardiovaskular yang optimal. Tanpa persiapan yang matang, lari bisa berubah dari aktivitas menyehatkan menjadi ancaman diam-diam bagi jantung.
Mengenali Risiko Sebelum Menyusun Rencana
Menurut dr. Aron, risiko jantung saat berlari marathon paling sering muncul pada individu dengan riwayat penyempitan pembuluh darah, hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, atau kebiasaan merokok. Bahkan, riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner di usia muda bisa menjadi indikator penting yang sering diabaikan.
Dalam praktiknya, banyak pelari pemula langsung mengikuti program latihan intensif tanpa pemeriksaan jantung terlebih dahulu. Beberapa bahkan mengalami serangan jantung mendadak saat latihan atau lomba. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari akumulasi stres fisik yang tidak diimbangi dengan pemulihan dan pemantauan medis.
Langkah Awal yang Sering Terlupakan
Pemeriksaan jantung sebelum marathon seharusnya menjadi standar, bukan pengecualian. Terutama bagi pelari berusia di atas 30 tahun, atau mereka yang memiliki faktor risiko metabolik. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), treadmill test, dan echocardiography bisa memberikan gambaran tentang fungsi jantung secara menyeluruh.
Menurut jurnal dari Journal of the American College of Cardiology, pelari endurance memiliki risiko lebih tinggi terhadap aritmia dan fibrosis jantung jika latihan dilakukan secara berlebihan tanpa pemulihan yang cukup. Oleh karena itu, deteksi dini menjadi kunci untuk mencegah komplikasi yang tidak diinginkan.
Menyusun Ritme, Bukan Mengejar Kecepatan
Latihan marathon bukan soal seberapa cepat seseorang bisa berlari, tetapi seberapa konsisten tubuh mampu beradaptasi. Latihan bertahap membantu jantung membangun kekuatan otot dan efisiensi pompa darah. Menurut panduan dari Fimela Health, idealnya latihan dimulai 12–20 minggu sebelum lomba, dengan intensitas yang meningkat secara perlahan.
Latihan interval, lari jarak jauh, dan recovery run harus disusun dengan logika, bukan semangat semata. Pemanasan dan pendinginan menjadi ritual yang tak boleh dilewatkan. Tanpa itu, jantung dipaksa bekerja dalam kondisi ekstrem tanpa persiapan, dan risiko gangguan ritme jantung meningkat.
Bahan Bakar yang Menjaga Irama
Jantung bekerja seperti mesin. Ia membutuhkan bahan bakar yang tepat. Asupan elektrolit, karbohidrat kompleks, dan lemak sehat membantu menjaga kestabilan tekanan darah dan ritme jantung selama latihan. Kekurangan magnesium dan kalium bisa memicu aritmia, terutama saat tubuh kehilangan cairan melalui keringat.
Hidrasi bukan hanya soal minum air. Ia adalah strategi elektrolit. Minuman isotonik, air kelapa, atau larutan oral rehidrasi bisa membantu menjaga keseimbangan cairan tubuh. Dalam studi dari British Journal of Sports Medicine, dehidrasi ringan saja sudah cukup untuk meningkatkan denyut jantung secara signifikan dan menurunkan performa pelari.
Mendengarkan Sinyal Tubuh: Bahasa yang Tak Tertulis
Nyeri dada, sesak napas, detak jantung yang tidak beraturan, pusing, atau hampir pingsan bukan gejala yang bisa ditoleransi saat berlari. Mereka adalah sinyal tubuh yang harus dihentikan, bukan dilawan. Menurut dr. Aron, gejala tersebut bisa menjadi tanda awal gangguan jantung dan alasan kuat untuk menghentikan aktivitas fisik.
Dalam dunia lari, ada kebiasaan untuk “push through the pain”. Namun, rasa sakit yang berasal dari jantung bukan bagian dari proses adaptasi. Ia adalah peringatan. Dan pelari yang bijak adalah mereka yang tahu kapan harus berhenti.
Menjaga Jantung Bukan Penghalang, Tapi Penjamin Garis Akhir
Menjaga jantung sebelum marathon bukan berarti membatasi ambisi. Ia adalah cara untuk memastikan bahwa ambisi itu bisa dijalankan dengan aman. Dalam dunia yang memuja kecepatan dan daya tahan, kesehatan jantung sering kali menjadi korban dari semangat yang berlebihan.
Bagi pelari usia produktif, memahami jantung bukan hanya soal detak per menit. Ia adalah soal ritme hidup, soal keberlanjutan, dan soal keputusan yang menyelamatkan lebih dari sekadar napas. Marathon bukan tentang siapa yang tercepat. Ia adalah tentang siapa yang paling siap.
Baca Juga: Jaga Tubuh Tetap Fit Sebelum Race Lari dengan Tips ini!
Referensi
- Adaptasi Kardiovaskular terhadap Latihan Fisik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
- Cegah Henti Jantung Saat Olahraga Lari, Tips Penting dari Dokter untuk Keamanan Anda – Journal IAINSA
- Exercise-Induced Cardiovascular Adaptations and Approach to Exercise and Cardiovascular Disease (2021), Journal of the American College of Cardiology