Gas elpiji 3 kg yang selama ini menjadi andalan masyarakat menengah ke bawah khususnya masyarakat kurang mampu, kini semakin sulit ditemukan. Kelangkaan yang terjadi di berbagai daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga kota-kota lain di Indonesia, membuat para masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas subsidi ini, bahkan ada yang rela mengantri panjang di pangkalan resmi, namun tidak semua yang mengantri bisa pulang dengan Gas tersebut karena banyaknya permintaan. Bagi masyarakat menengah ke bawah, kondisi ini bukan sekadar ketidaknyamanan, tetapi juga berdampak langsung pada kebiasaan memasak dan konsumsi gizi sehari-hari.
Apa Penyebab di Balik Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg?
Kelangkaan gas elpiji 3 kg terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah pengurangan kuota subsidi dari pemerintah. Kuota gas bersubsidi untuk DKI Jakarta, misalnya, tahun ini ditetapkan sebesar 407.555 metrik ton, lebih rendah dari realisasi penyaluran tahun sebelumnya yang mencapai 414.134 metrik ton. Pengurangan ini otomatis berdampak pada ketersediaan gas di pasaran.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025 juga memperumit situasi. Banyak pengecer yang sebelumnya menjadi tempat utama masyarakat membeli gas kini tidak bisa lagi menjualnya secara bebas. Meskipun Presiden Prabowo telah mencabut larangan tersebut, distribusi yang sempat terganggu membuat stok gas belum kembali normal sepenuhnya.
Bagaimana Kelangkaan Mengubah Kebiasaan Memasak?
Gas elpiji 3 kg selama ini menjadi energi utama untuk memasak bagi sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Ketika pasokan gas terganggu, masyarakat terpaksa mencari alternatif lain. Beberapa keluarga memilih menggunakan kompor listrik, tetapi ini tidak selalu menjadi solusi, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan listrik tidak stabil atau memiliki daya terbatas.
Sebagian lainnya bahkan kembali ke metode tradisional seperti memasak dengan kayu bakar atau arang. Di daerah tertentu, seperti di pedesaan, metode ini mungkin masih memungkinkan. Namun, bagi warga perkotaan, beralih ke kayu bakar bukan hanya merepotkan, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan akibat asap yang dihasilkan. Sehingga para warga memilih membeli makanan di luar, baik warung makan atau penyedia makanan siap saji.

Apakah Pola Konsumsi Gizi Masyarakat Ikut Berubah?
Beralihnya masyarakat ke makanan siap saji atau instan akibat kelangkaan gas tentu berdampak pada pola konsumsi gizi. Makanan yang dibeli di luar rumah tidak selalu memenuhi standar gizi seimbang. Banyak dari makanan cepat saji yang tinggi karbohidrat dan lemak, tetapi rendah protein serta vitamin dan mineral.
Kondisi ini juga mendorong masyarakat untuk memilih makanan yang lebih praktis dan cepat diolah. Beberapa ibu rumah tangga mengaku lebih sering menggoreng atau merebus makanan dengan waktu masak yang lebih singkat dibandingkan memasak sayur atau lauk yang lebih kompleks. Akibatnya, variasi makanan yang dikonsumsi menjadi lebih terbatas, yang dalam jangka panjang dapat memengaruhi asupan gizi seimbang.
Situasi ini menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pada gas elpiji 3 kg sangat tinggi. Ketika pasokan terganggu, dampaknya tidak hanya pada kenyamanan tetapi juga pada kualitas konsumsi gizi masyarakat.
Apa Solusi Jangka Panjang Diperlukan?
Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi jangka panjang agar distribusi gas elpiji 3 kg lebih merata dan tidak mudah terganggu. Salah satunya dengan memperbaiki sistem distribusi agar tidak terjadi penimbunan atau ketimpangan pasokan di berbagai daerah. Selain itu, edukasi mengenai energi alternatif seperti kompor induksi atau biogas juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada gas subsidi.
Bagi masyarakat, penting untuk mulai mengadaptasi pola makan yang lebih fleksibel agar tetap bisa memenuhi kebutuhan gizi meskipun ada keterbatasan dalam memasak. Mengurangi konsumsi makanan instan, memilih bahan makanan yang lebih mudah diolah, dan berkreasi dengan metode memasak sederhana bisa menjadi strategi agar tetap bisa menikmati makanan sehat di tengah krisis gas elpiji.
Kelangkaan gas elpiji 3 kg bukan hanya masalah distribusi, tetapi juga berpengaruh pada kebiasaan memasak dan pola konsumsi gizi masyarakat. Ketika gas sulit didapat, banyak orang yang mengubah pola makannya, baik dengan membeli makanan di luar maupun memilih menu yang lebih praktis. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa solusi, bukan tidak mungkin kualitas gizi masyarakat akan semakin terpengaruh. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun masyarakat perlu mencari cara untuk menghadapi situasi ini agar konsumsi gizi tetap terjaga, meskipun tantangan dalam mendapatkan gas masih ada.
Baca Juga: Denaturasi Protein: Kenali Bagaimana Memasak Mengubah Struktur dan Nutrisi Makanan
Editor: Rheinhard, S.Gz., Dietisien
Referensi :
- Gas LPG 3 Kg di Jakarta Langka, Pemprov DKI Beberkan Penyebabnya – VOI
- Sulit Dapatkan Gas Elpiji 3 Kg, Warga Lebak Terpaksa Masak Pakai Kayu Bakar – TVOne
- Drama Elpiji 3 kg Langka: Warga Pakai Kayu Bakar, Pedagang Tak Jualan – KataData
- Gara-gara Gas 3 Kg Langka di Jakpus, Wanita Ini Mengeluh Tak Bisa Masak – Kompas
- Krisis Gas LPG, Penyebab dan Solusi Jangka Panjang – RRI