Stunting vs Wasting: Mana yang Lebih Penting Untuk Dicegah?

stunting-vs-wasting

Percepatan penurunan stunting pada balita merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang tertulis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan prevalensi menjadi 14%. Sayangnya, target ini belum tercapai karena prevalensi balita stunting di Indonesia saat ini masih sebesar 19,8%. Selain stunting, permasalahan gizi pada balita yang juga menjadi prioritas pemerintah dalam RPJMN adalah wasting yang ditargetkan angkanya turun menjadi 7%. Kedua hal ini penting untuk diatasi karena keduanya saling berhubungan.

Mengulas Perbedaan Stunting dan Wasting

Menurut Kemenkes RI, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada tubuh dan otak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama sehingga anak lebih pendek dari pada anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan berfikir. Stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa faktor risiko terjadinya stunting antara lain, kurangnya asupan gizi balita dalam jangka waktu yang lama (kronis). Kemudian adanya penyakit infeksi, nutrisi ibu yang buruk selama masa prakonsepsi, faktor genetik, pemberian ASI eksklusif, ketersediaan pangan. Serta faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, dan faktor lingkungan lainnya. Anak balita dinyatakan stunted (pendek) apabila nilai z-scorenya < -2 SD hingga -3 SD dan severely stunted (sangat pendek) apabila nilai z-scorenya <-3 SD didasarkan pada indikator antropometri Panjang Badan/Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U). 

Sedangkan wasting menurut WHO adalah kondisi kekurangan gizi akut dimana berat badan balita tidak sebanding dengan tinggi badannya. Anak balita dinyatakan wasting (gizi kurang) apabila nilai z-scorenya < -2 SD hingga -3 SD. Dan severely wasting (gizi buruk) apabila nilai z-scorenya <-3 SD didasarkan pada indikator antropometri Panjang Badan/Tinggi Badan menurut Berat Badan (PB/BB atau TB/BB). Penyebab stunting merupakan gabungan dari asupan makan yang tidak adekuat dan tingginya insiden penyakit menular.

Berdasarkan pengertian diatas sudah dapat disimpulkan bahwa wasting dan stunting adalah 2 hal yang berbeda. Stunting adalah permasalahan gizi kronis dan kerap ditandai dengan tinggi badan balita yang tidak sesuai dibandingkan dengan anak seusianya. Stunting bersifat irreversible, yang artinya apabila anak sudah mengalami stunting maka sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Sedangkan wasting adalah permasalahan gizi akut dan ditandai dengan kondisi anak yang tampak kurus. Berbeda dengan stunting, wasting bersifat reversible atau masih dapat diperbaiki dengan pemberian makanan tambahan.

Mencegah dan Mengobati Wasting agar Tidak Stunting

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Unicef, stunting dan wasting merupakan masalah gizi yang saling terkait dan dapat memperburuk kondisi satu sama lain. Balita wasting yang tidak ditangani dengan tepat memiliki resiko 3 kali lebih tinggi untuk berkembang menjadi stunting. Begitu pula dengan balita stunting memiliki 1,5 kali risiko yang lebih tinggi untuk mengalami wasting. Jika dibandingkan anak dengan status gizi normal. Tentunya risiko morbiditas dan mortalitas anak yang mengalami dua permasalahan ini akan meningkat signifikan. Hal ini juga yang sedang dikerjakan oleh Unicef untuk menangani wasting di Indonesia dengan slogan “Ayo, Cegah dan Obati Wasting Biar Ga Stunting”. 

Dari slogan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya mencegah dan mengobati wasting dapat menjadi salah satu langkah dalam mencegah peningkatan balita stunting di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada yang jauh lebih penting untuk diatasi baik stunting maupun wasting. Kedua hal ini setara dan memiliki urgensi yang sama untuk mendapatkan penanganan yang baik dan tepat. Jangan sampai balita yang mengalami wasting atau gizi buruk tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan sehingga berkembang menjadi stunting yang sifatnya irreversible atau tidak dapat disembuhkan.

Upaya Pencegahan Wasting dan Stunting di Indonesia

Pada tahun 2017, WHO mengeluarkan pedoman protokol pengobatan balita gizi buruk melalui pendekatan PGBT (Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi). Pendekatan ini telah terbukti secara global dapat meningkatkan prevalensi balita gizi buruk yang mendapatkan pelayanan dari 1,1 juta pada tahun 2009 menjadi 5,2 juta pada tahun 2018. Melalui PGBT, akan dapat menjangkau lebih banyak balita dan mengurangi kematian akibat gizi buruk. Oleh karena itu, PGBT telah diterapkan di lebih dari 80 negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Di Indonesia, program PGBT ditetapkan sebagai salah satu dari delapan intervensi gizi esensial yang diprioritaskan dan dikembangkan untuk mendukung Gerakan Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Namun, keberhasilan pendekatan PGBT juga tergantung dengan peran masyarakat. Hal ini dikarenakan, PGBT memiliki 4 prinsip utama yang saling berhubungan yaitu:

1. Deteksi Dini

Deteksi dini gizi buruk atau wasting dilakukan pada level masyarakat menggunakan alat deteksi sederhana yakni pita LiLA. Hal ini dapat dilakukan di Posyandu, PAUD, atau bahkan dari level keluarga. Oleh karena itu, keberhasilan prinsip ini tergantung dengan adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya perawatan balita wasting sedini mungkin.

2. Perawatan yang Tepat

Setelah terdeteksi gizi buruk, masyarakat perlu melaporkan pada tenaga kesehatan seperti bidan atau ahli gizi yang bertanggung jawab di desa untuk dilakukan konfirmasi dan tindak lanjut. Perawatan selanjutnya akan dilakukan sesuai dengan kondisi medis dan gizi dari masing-masing balita. Artinya, hanya balita gizi buruk dengan komplikasi yang akan dirawat di rumah sakit sedangkan balita gizi buruk tanpa komplikasi akan menjalani rawat jalan.

3. Perawatan Selama Diperlukan

Dalam pendekatan PGBT, anak balita akan di pindah rawat dari layanan rawat inap ke rawat jalan apabila sudah tidak terdapat komplikasi dan kondisinya membaik. Balita akan melanjutkan perawatan rawat jalan dengan tetap dipantau oleh tenaga kesehatan.

4. Akses dan Cakupan Maksimum

Melalui PGBT,  perawatan untuk anak gizi buruk akan tersedia di Puskesmas atau Posyandu yang dekat dengan tempat tinggal anak balita. Hal ini memungkinkan lebih banyak anak balita gizi buruk yang mendapatkan perawatan.

Titik tumpu utama penanganan gizi buruk melalui pendekatan PGBT ini adalah pada deteksi dini. Oleh karena itu, masyarakat memiliki peranan yang besar dalam melakukan deteksi awal balita yang mengalami gizi buruk sehingga dapat mendapatkan pelayanan gizi dan kesehatan yang optimal. Harapannya, kedepan semakin banyak masyarakat yang sadar mengenai pentingnya mencegah wasting dan stunting pada anak agar dapat tercipta generasi Indonesia yang lebih sehat. 

Baca Juga: Ayah Perokok? Anak Bisa Berisiko Stunting!

Referensi

Editor: Eka Putra Sedana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *