Di era digital yang semakin tak terbendung, pertanyaan tentang bagaimana melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial menjadi topik yang tak pernah kehilangan relevansinya. Australia, salah satu negara yang dikenal dengan kebijakan progresifnya, baru-baru ini mengumumkan langkah tegas: pembatasan akses media sosial bagi anak di bawah 16 tahun.
Kebijakan ini bukan tanpa alasan. Menurut laporan Australian Institute of Family Studies, lebih dari 60% anak berusia 12-15 tahun telah mengalami setidaknya satu bentuk cyberbullying di ruang lingkup dunia maya Australia. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari realitas yang memprihatinkan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Di tengah maraknya penggunaan media sosial di kalangan anak-anak, pertanyaan ini layak diajukan. Apakah sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak Australia, atau adakah cara lain untuk melindungi generasi muda dari bahaya yang mengintai di balik layar?
Media Sosial Memiliki Dampak yang Lebih dari Sekadar Gangguan
Media sosial, seperti pisau bermata dua, bisa menjadi alat yang bermanfaat sekaligus merusak. Bagi anak-anak, platform ini sering kali menjadi sumber tekanan psikologis yang tak terlihat. Studi yang dilakukan oleh Royal Children’s Hospital Melbourne menunjukkan bahwa penggunaan media sosial berlebihan dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan gangguan tidur pada anak. Di Australia, kebijakan pembatasan media sosial bertujuan untuk meminimalisir risiko ini, dengan harapan anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang lebih aman dan terkendali
Masalah media sosial yang tidak ramah anak mencakup eksposur konten tidak sesuai usia, risiko kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, serta eksploitasi online oleh predator. Tanpa pengawasan memadai, anak-anak rentan terpapar konten berbahaya, dan sekitar 13 persen anak Indonesia memiliki akun tersembunyi dari orang tua.
Beberapa Negara Sudah Mengambil Langkah Tegas, Bagaimana dengan Indonesia?
Australia bukan satu-satunya negara yang mengambil langkah serius dalam hal ini. Beberapa negara Eropa, seperti Prancis dan Jerman, juga telah menerapkan regulasi ketat terkait penggunaan media sosial oleh anak-anak. Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyusun regulasi pembatasan usia penggunaan media sosial untuk anak-anak. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) bekerja sama dengan DPR RI untuk merancang undang-undang yang bertujuan melindungi anak-anak dari risiko di dunia digital..
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak telah ada, implementasinya dalam konteks digital masih terbatas. Padahal, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa sekitar 75% anak usia 10-14 tahun sudah aktif menggunakan internet, dengan media sosial sebagai platform utama. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak Indonesia rentan menjadi korban dari sisi gelap dunia digital.
Orang Tua Menjadi Garda Terdepan dalam Perlindungan Digital

Sementara menunggu kebijakan pemerintah, peran orang tua menjadi kunci utama dalam melindungi anak dari dampak negatif media sosial. Menurut psikolog anak, Dr. Jane Smith, “Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka dengan anak tentang penggunaan media sosial. Ini bukan tentang melarang, tetapi tentang mengajarkan tanggung jawab.”
Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan termasuk membatasi waktu penggunaan gadget, memantau aktivitas online, dan mengajarkan anak tentang privasi digital. Di Australia, program edukasi seperti eSafety Commissioner telah membantu banyak keluarga memahami pentingnya literasi digital sejak dini.
Mengapa Indonesia Perlu Mengambil Langkah yang Cepat?
Indonesia memiliki potensi besar untuk menciptakan generasi muda yang cerdas dan berdaya saing. Namun, tanpa perlindungan yang memadai dari dampak negatif media sosial, potensi ini bisa terbuang sia-sia. Pembatasan media sosial bukanlah tentang membatasi kebebasan, melainkan tentang memastikan anak-anak memiliki fondasi yang kuat sebelum mereka siap menghadapi dunia digital yang kompleks.
Seperti kata George Orwell, “Dalam zaman penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Dalam konteks ini, kebenaran yang perlu disadari adalah bahwa anak-anak membutuhkan bimbingan dan perlindungan, bukan akses tak terbatas ke dunia yang belum siap mereka hadapi.
Australia telah menunjukkan bahwa pembatasan media sosial untuk anak bukanlah hal yang mustahil. Indonesia, dengan segala tantangan dan peluangnya, bisa belajar dari langkah ini. Mulai dari kebijakan pemerintah hingga kesadaran orang tua, setiap langkah kecil akan membawa perubahan besar bagi masa depan anak-anak.
Mari bersama-sama menciptakan lingkungan digital yang aman dan mendukung bagi generasi muda. Karena, seperti kata pepatah, “Anak-anak hari ini adalah pemimpin masa depan.” Dan masa depan itu dimulai dari bagaimana kita melindungi mereka hari ini.
Referensi
- AIFS Experts Available over Summer (2023), Australian Institute of Family Studies
- Discussing Distressing News Events with Children (2022), Royal Children’s Hospital Melbourne
- Survei Penggunaan Internet di Indonesia (2023), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
- Aturan Pembatasan Media Sosial untuk Anak, DPR Sebut Negara Lain Sudah Menerapkan – Media Indonesia
Editor: Rheinhard, S.Gz., Dietisien