Data dari Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia menunjukkan bahwa 68% penderita GERD mengalami false hunger, sensasi lapar palsu yang muncul meski perut sebenarnya sudah terisi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Mekanisme Palsu Asam Lambung yang Menipu Otak
Saat GERD kambuh, asam lambung yang naik ke esofagus tidak hanya menyebabkan nyeri ulu hati. Asam tersebut mengiritasi saraf vagus—jalur komunikasi utama antara perut dan otak. Dalam kondisi normal, saraf vagus mengirim sinyal “kenyang” setelah makanan masuk. Namun, iritasi akibat asam membuat sinyal ini kacau. Otak menerjemahkan iritasi sebagai “perut kosong”, sehingga memicu ghrelin, hormon lapar, meski lambung sebenarnya penuh.
Studi Journal of Neurogastroenterology membuktikan bahwa penderita GERD memiliki kadar ghrelin 23% lebih tinggi setelah makan dibandingkan orang dengan pencernaan normal. Ini menjelaskan mengapa sepiring nasi yang sudah dikonsumsi tiba-tiba terasa seperti “hilang” begitu saja.
Makan Lebih Banyak Bukan Solusi, Justru Bumerang
Banyak penderita GERD tergoda untuk mengatasi rasa lapar ini dengan makan lebih sering atau dalam porsi besar. Padahal, kebiasaan ini justru memperburuk kondisi. Setiap kali makanan masuk, lambung memproduksi asam baru. Semakin banyak makanan, semakin tinggi risiko refluks. Sebuah penelitian dari Gut and Liver menemukan bahwa penderita GERD yang makan lebih dari tiga kali sehari dengan porsi besar mengalami gejala 40% lebih berat dibandingkan yang makan kecil tetapi sering.
Karbohidrat Sederhana yang Sering Dianggap sebagai Teman
Roti putih, nasi, atau mi instan sering dipilih karena terasa “aman” di perut. Padahal, karbohidrat olahan justru mempercepat pengosongan lambung. Dalam 30-45 menit setelah dikonsumsi, gula darah melonjak lalu turun drastis—memicu rasa lapar kembali. Prof. Akira Fujimoto dari Tokyo Medical University menjelaskan: “Karbohidrat sederhana memberi sinyal kenyang singkat, tetapi asam lambung tetap tinggi. Kombinasi inilah yang membuat penderita GERD terjebak dalam siklus makan terus-menerus.”
Tips dan Trik Memutus Siklus Lapar Palsu
1. Pilih Makanan dengan Indeks Glikemik Rendah
Oatmeal, ubi, atau beras merah dicerna tubuh lebih lambat dari sumber karbohidrat lainnya. Sehingga dapat menjaga gula darah lebih stabil dan mengurangi hasrat makan berlebihan.
2. Kunyah Lebih Lama
Proses mengunyah merangsang enzim pencernaan dan memberi waktu bagi otak untuk menerima sinyal kenyang. Sehingga rasa kenyang akan terasa lebih lama.
3. Hindari Minum Saat Makan
Cairan berlebihan mengencerkan asam lambung, memperlambat pencernaan, dan memicu produksi asam tambahan. Hal tersebut akan memicu reaksi dan menyebabkan GERD kambuh.
4. Coba Puasa Singkat
Memberi jeda 4-5 jam antara waktu makan membantu mengembalikan ritme alami lambung. Lambung dan otak akan melakukan reset, sehingga ritme antara rasa lapar dan kondisi lambung sesuai.
Waktu yang Tepat untuk Waspada
Jika rasa lapar terus-menerus disertai gejala seperti penurunan berat badan, lemas, atau pusing, bisa jadi itu tanda komplikasi GERD seperti esofagitis erosif atau bahkan tukak lambung. Konsultasi gastroenterologis diperlukan untuk mengevaluasi apakah ada kerusakan lebih serius pada saluran cerna.
Lapar saat GERD bukan sekadar ilusi—itu adalah bahasa tubuh yang salah diterjemahkan. Daripada menuruti keinginan makan terus-menerus, cobalah berhenti sejenak, minum air hangat, dan bernapas dalam-dalam. Seringkali, yang dibutuhkan bukanlah tambahan makanan, tetapi waktu bagi lambung untuk menenangkan diri. Seperti kata Dr. Hasan Maulahela, Sp.PD-KGEH: “Mengelola GERD bukan hanya tentang apa yang dimakan, tapi juga bagaimana memberi kesempatan tubuh menyembuhkan dirinya sendiri.”
Baca Juga: Obesitas Sentral : Penyebab Tersembunyi di Balik Meningkatnya Risiko GERD
Referensi
- Konsensus Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2022), Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
- Vagal Nerve Simulation (2023), Alzheimer’s Drug Discovery Foundation
- Functional Food in Relation to Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) (2023), Nutrients
- Refractory Gastroesophageal Reflux Disease: Diagnosis and Management (2024), Journal of Neurogastroenterol and Motil