Dalam beberapa tahun terakhir, dua narasi besar muncul di ruang publik dan media sosial: “Cintai dirimu apa adanya” dan “Yuk diet demi hidup sehat.” Keduanya sekilas tampak bertolak belakang. Jika seseorang menerima dirinya sepenuhnya, mengapa ia harus mengubah pola makan atau bentuk tubuh? Sebaliknya, jika ia diet, apakah itu berarti ia belum sepenuhnya menerima dirinya?
Sebuah studi meta-analisis dalam National Library of Medicine, menunjukkan bahwa tekanan dari sosial untuk memiliki tubuh ideal dapat memengaruhi persepsi seseorang terhadap tubuhnya dan memicu perilaku makan yang tidak sehat. Artinya, konflik ini tidak hanya hadir di percakapan online, tetapi juga memengaruhi cara kita memandang tubuh, kesehatan, dan harga diri.
Di satu sisi, kampanye self love menekankan pentingnya penerimaan diri dan menolak standar kecantikan yang sempit. Di sisi lain, diet sering dipersepsikan sebagai upaya mengejar standar tersebut. Lantas, bagaimana posisi kita sebagai individu yang terus menerima dua narasi tersebut?
Di Antara Dua Narasi, Kita Justru Dihadapkan pada Kebingungan Baru
Kebingungan muncul ketika dua pesan ini diposisikan saling berlawanan. Banyak orang merasa serba salah. Ada yang ingin diet karena merasa tubuhnya butuh dirawat, tetapi khawatir dianggap tidak menerima tubuh dan berakhir menyiksa diri. Sebaliknya, ketika mencoba menerima tubuh apa adanya, muncul rasa bersalah karena merasa “kurang berusaha” untuk menjadi lebih sehat.
Tekanan sosial dan standar yang berubah-ubah membuat kita sulit mengambil sikap. Tidak sedikit yang akhirnya menyerah, merasa lelah dengan perdebatan yang seolah tidak berkesudahan. Namun, di balik kebingungan ini, ada ruang untuk pemahaman baru bahwa self love dan diet bukan musuh. Justru, keduanya bisa saling melengkapi.
Dari kebingungan itulah, penting untuk menggeser sudut pandang kita bahwa sehat bukan tentang memilih salah satu narasi, tapi memahami esensi di baliknya.
Sehat Adalah Proses, Bukan Sekadar Tujuan
Sering kali kita memaknai sehat sebagai hasil akhir, seperti berat badan ideal, angka kolesterol rendah, atau target kalori tercapai. Namun, sehat yang sejati adalah proses. Upaya sadar untuk memahami tubuh, memberi asupan yang cukup dan bergizi, beristirahat dengan cukup, dan menyayangi diri dengan realistis.
WHO mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial.” Diet yang sehat bukan berangkat dari benci terhadap bentuk tubuh, melainkan dari keinginan menjaga fungsi dan kualitas hidup dalam jangka panjang.
Sebaliknya, self love bukan berarti berhenti bertumbuh. Mencintai diri bisa berarti mengambil keputusan sulit untuk mengubah gaya hidup, karena kita tahu tubuh kita layak untuk hidup yang lebih baik.
Proses menuju sehat itu pun tidak seragam. Setiap individu memiliki kebutuhan dan kapasitas yang berbeda-beda.
Setiap Orang Punya Definisi Sehat yang Berbeda
Kita hidup dalam keberagaman pengalaman dan kapasitas. Bagi sebagian orang, sehat berarti menjalani rutinitas olahraga intensif dan makan terjadwal. Bagi yang lain, sehat mungkin berarti cukup tidur, mengurangi konsumsi makanan cepat saji, dan lebih banyak bergerak dalam keseharian.
Tidak ada satu definisi yang berlaku untuk semua. Yang lebih penting adalah kesadaran atas kondisi tubuh masing-masing, serta keberanian untuk mengambil langkah-langkah kecil yang nyata. Maka, titik temu antara self love dan diet bukan terletak pada bentuk tubuh, tetapi pada kesadaran dan kasih sayang terhadap tubuh sendiri.
Menjembatani Self Love dan Diet dengan Kesadaran Diri
Kita tidak perlu memilih antara menerima diri atau memperbaiki diri. Self love dan diet bisa berjalan berdampingan selama keduanya dilakukan dengan niat yang sehat, bukan karena tekanan eksternal atau rasa bersalah.
Menurut Dr. Kristin Neff, pakar self-compassion, mencintai diri tidak berarti menolak perubahan. Justru, rasa sayang terhadap diri dapat menjadi dasar kuat untuk membuat keputusan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Mengatur pola makan, berolahraga, atau membuat perubahan gaya hidup tidak harus bertolak belakang dengan penerimaan diri. Justru, di sanalah letak keseimbangan yang sehat. Kita tidak hanya menerima siapa diri kita hari ini, tetapi juga peduli terhadap siapa kita di masa depan.
Baca Juga: Sehat Ala Sosial Media: Tuntutan atau Kebutuhan?
Referensi
- The Social Media Siet: A Scoping Review to Investigate The Association Between Social Media, Body Image and Eating Disorders Amongst Young People (2023), National Library of Medicine
- WHO Definition of Health | Margherita College
- Hubungan Body Image, Intensitas Penggunaan Media Sosial, Kualitas Diet, Aktivitas Fisik, dan Status Gizi pada Remaja (2024), IPB University Scientific Repository
- Hubungan Intensitas Penggunaan Media Sosial dan Body Image dengan Gangguan Makan Siswa SMAN 5 Jakarta (2023), Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI)
- The HAES Approach to Nutrition | Culina Health
- A Study on Twins Offers Proof That We All Need Personalized Diets | TIME
- Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself (2011), New York: William Morrow
Editor: Amalia Augustina Tsyaniyah, S.Gz.