Kamu mungkin pernah mendengar bisik-bisik di antara para penderita diabetes atau pelaku diet rendah karbohidrat: “Jangan makan singkong, nanti gula darahmu melonjak!” Tapi benarkah umbi yang menjadi salah satu makanan pokok di Indonesia ini layak mendapat reputasi buruk semacam itu?
Menurut data Kementerian Pertanian RI, singkong merupakan komoditas pangan ketiga terbesar setelah beras dan jagung, dengan konsumsi mencapai 15 kg per kapita per tahun. Sementara itu, penelitian dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang dampak singkong terhadap gula darah masih sangat beragam—mulai dari yang menganggapnya berbahaya sampai yang percaya sebagai alternatif sehat. Lantas, mana yang benar?
Kandungan yang Tak Sesederhana Tampangnya
Sepintas, singkong hanyalah umbi bertepung yang biasa diolah menjadi gorengan, kolak, atau tiwul. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan komposisi nutrisi yang menarik. Dalam 100 gram singkong rebus, terdapat sekitar 38 gram karbohidrat, tetapi yang sering luput dari perhatian adalah jenis serat yang dikandungnya.
Berbeda dengan beras putih yang dominan mengandung karbohidrat sederhana, singkong memiliki serat pangan larut yang memperlambat penyerapan glukosa. Sebuah studi dalam Journal of Nutrition and Metabolism menemukan bahwa respon gula darah setelah mengonsumsi singkong ternyata 30% lebih rendah dibandingkan dengan nasi putih dalam porsi yang setara.
Dr. Fatimah Malini, ahli gizi dari Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia, menjelaskan: “Masalahnya bukan pada singkongnya, melainkan cara pengolahan dan porsinya. Singkong yang diolah dengan benar justru bisa menjadi bagian dari diet seimbang.”
Kunci Memahami Indeks Glikemik dan Dampaknya pada Gula Darah
Indeks glikemik (IG) menjadi parameter penting dalam perdebatan ini. Singkong rebus memiliki IG sekitar 46, yang tergolong rendah (di bawah 55). Bandingkan dengan nasi putih yang mencapai 73, atau roti tawar yang bahkan menyentuh angka 75.
Namun, ada catatan penting. IG umbi ini bisa melonjak drastis ketika diolah menjadi tepung atau makanan olahan seperti keripik. Proses penggilingan dan penggorengan menghancurkan serat alaminya, mengubahnya menjadi karbohidrat cepat serap. Di sinilah letak kesalahpahaman umum terjadi—bukan singkongnya yang bermasalah, melainkan transformasinya menjadi produk olahan.
Strategi Bijak Menikmati Tanpa Khawatir Gula Darah
1. Pilih Metode Masak yang Tepat
Merebus atau mengukus mempertahankan struktur serat alami singkong. Hindari menggoreng atau mengolahnya menjadi tepung jika ingin menjaga respon gula darah tetap stabil.
2. Kombinasikan dengan Sumber Protein dan Lemak Sehat
Menyantap singkong bersama ikan, ayam, atau alpukat memperlambat pencernaan karbohidrat. Trik sederhana ini bisa mengurangi lonjakan gula darah hingga 40% berdasarkan penelitian Diabetes Care.
3. Perhatikan Porsi
Sebanyak apa pun makanan sehat tetap perlu dikonsumsi dalam batas wajar. Sepotong singkong ukuran sedang (150 gram) sudah mencukupi sepertiga kebutuhan karbohidrat harian orang dewasa.
Melihat Singkong dalam Perspektif Sejarah dan Budaya
Jangan lupakan konteks sosial dari bahan pangan ini. Selama berabad-abad, singkong menjadi penyelamat di saat krisis pangan. Tanaman yang tahan kekeringan ini mengandung cyanogenic glycosides alami yang sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan—zat yang bisa berbahaya jika dikonsumsi mentah, tetapi aman setelah diproses dengan benar.
Masyarakat tradisional telah mengembangkan berbagai teknik fermentasi seperti pada peuyeum atau tape yang justru meningkatkan kandungan probiotik. Kebijaksanaan lokal ini sering kali terabaikan dalam diskusi modern tentang nutrisi.
Musuh Palsu atau Sekutu Kesehatan?
Setelah menelusuri fakta-fakta ini, jelas bahwa salah satu jenis umbi ini tidak pantas dicap sebagai biang kerok lonjakan gula darah. Seperti pisau bermata dua, dampaknya sangat bergantung pada bagaimana kita mengolah dan mengonsumsinya.
Bagi kamu yang sedang mengelola kadar gula darah atau sekadar ingin hidup lebih sehat, singkong justru bisa menjadi alternatif karbohidrat yang lebih unggul dibandingkan nasi putih—asalkan dimakan dalam bentuk alaminya dan tidak berlebihan.
Lain kali ketika melihat singkong goreng di meja makan, ingatlah: masalahnya bukan pada umbi sederhana ini, melainkan pada pilihan kita menyajikannya. Jadi, masih mau menyalahkan singkong? Atau mulai mencari cara lebih cerdas untuk menikmatinya?
Baca Juga: Penderita Diabetes, Coba Ganti ke Nasi Shirataki!
Referensi
- Buku Statsitik Konsumsi Pangan (2023), Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
- Pengaruh Bubur Pisang Isomaltosa-oligosakarida dan Fibercreme terhadap Kadar Glukosa dan Lipida Darah serta Profil Digesta Tikus Diabetes (2020), Jurnal Agritech
- Effect of Processing and Variety on Starch Digestibility and Glycemic index of Popular Foods made from Cassava (Manihot esculenta) (2021), Food Chemistry
- Malnutrition, Eating Habits, Food Consumption, and Risk Factors of Malnutrition among Students at the University of Maroua, Cameroon (2022), Journal of Nutrition and Metabolism
- Reformulation and Food Combination as Strategies to Modulate Glycaemia: The Case of Apple Pomace Containing Biscuits Administered with Apple Juice to Healthy Rats (2021),
International Journal of Food Sciences and Nutrition