Selat Solo: Kuliner Warisan Kolonial Belanda yang Kaya Vitamin dan Protein 

selat solo makanan khas solo

Siapa yang tak kenal dengan kuliner Selat Solo. Makanan khas dari Solo, Jawa Tengah ini merupakan perpanduan sempurna antara bistik dan salad. Makanan yang dikenal dengan Bistik Solo ini ini merupakan hasil perpaduan silang antara budaya lokal dan budaya Barat yang kental. Selain kental dengan nilai sejarah dan kebudayaannya, makanan yang merupakan perpaduan apik antara selada dan daging ini juga kaya akan vitamin dan protein.

Makanan Hasil Perpaduan Kebudayaan

Sejak lama wilayah Solo merupakan daerah yang dikenal dengan wilayah kerajaan dan menjadi tempat penjamuan bagi orang-orang Belanda.

Tak hanya itu, pembangunan Benteng Vastenburg membuat orang-orang Belanda harus datang ke wilayah Keraton Surakarta. Hal inilah yang membuat wilayah ini seringkali menjadi tempat pertemuan antara dua kebudayaan yang berbeda.

Mengutip dari, “Gastronomi Indonesia sebagai Identitas Budaya dan Daya Tarik Wisata”, orang-orang Belanda menginginkan agar makanan yang disajikan kepada mereka berbahan utama daging.

Namun, pada sisi yang lain pihak keraton waktu itu juga mengharuskan agar makanan yang disajikan dapat diterima oleh lidah Keraton Surakarta.

Kondisi inilah yang membuat juru masak di Keraton Surakarta waktu itu harus melakukan modifikasi makanan namun, tetap mempertimbangkan dua belah pihak. Hal inilah yang membuat Selat Solo juga seringkali dianggap sebagai mamakanan hasil perpaduan dua kebudayaan. Koki Keraton Surakarta melakukan modifikasi dengan cara mengkombinasikan antara sayur, kuah kecap dan mayonnaise.

Selain melakukan perpaduan pada Selat Solo, wilayah Keraton Surakarta kala itu juga turut mendapatkan banyak pengaruh terutama pada bahan-bahan makanan yang datang dari Eropa seperti roti dan keju.

Makanan Khas Solo

Kini, Selat Solo dikenal sebagai makanan khas dari Solo yang direkomendasikan untuk kamu yang sedang berkunjung ke Solo. Mengutip dari, “Kuliner Surakarta: Mencipta Rasa Penuh Nuansa”, hidangan ini seringkali disajikan ketika momen-momen acara-acara hajatan di Kota Solo. Memang hal ini tidak bisa dipisahkan dari hidangan Selat Solo yang hanya disajikan bagi kalangan tertentu saja.

Namun, kamu tidak perlu khawatir karena sekarang hidangan Selat Solo ini dapat dinikmati di beberapa rumah makan yang ada di Solo. Meskipun terinspirasi dari steak yang berasal dari Eropa, makanan khas Solo ini tetap memiliki ciri khas nya tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari cara penyajian steak yang biasanya dihidangkan dalam kondisi panas, maka bistik Jawa ini didajikan dalam kondisi dingin.

Selain itu, kuah encer khas Jawa yang dipadukan dengan rempah-rempah membuat cita rasa khas Solo sangat terasa pada hidangan tersebut.

Kaya Vitamin dan Protein

Selat Solo memang bukan hanya makanan yang kaya akan sejarah dan budaya, melainkan juga kandungan bumbu-bumbu di dalamnya.

Mengutip dari, “Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia”, Selat disajikan dengan potongan buncis, wortel, kentang, telur yang direbus dan ditambah dengan acar, gelatin, salad yang dikiram kuah semur. Rasa kuah semur dibuat sedikit asam, namun menyegarkan.

Tak hanya enak, makanan khas Solo ini juga mengandung banyak vitamin dan protein. Daging sapi yang menjadi bahan dasar dari pembuatan Selat Solo mengandung protein yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan pada tubuh.

Selain itu, pada Selat Solo juga dapat ditemukan kandungan zat besi yang diambil dari daging sapi dan telur rebus. Tak hanya itu, sayur-sayuran seperti wortel, buncis dan selada menjadi sumber vitamin.

Bagi kamu yang sedang menjalani program diet, menu ini juga cocok karena tidak mengandung santan. Selain itu, kamu juga bisa melakukan modifikasi jika ingin membuat Selat Solo yang cocok dengan program dietmu.

Sumber:

  1. Gastronomi Indonesia sebagai Identitas Budaya dan Daya Tarik Wisata (2023), Mata Kata Inspirasi
  2. Kuliner Surakarta: Mencipta Rasa Penuh Nuansa (2018), Gramedia Pustaka Utama
  3. Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia (2017, Gadjah Mada University Press

Editor: Eka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *