“Mimpi Buruk” Fenomena Konsumsi Minuman Berpemanis di Indonesia

Minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages (SSBs), yang merupakan jenis cairan dengan tambahan gula, kini menjadi konsumsi yang sangat umum di berbagai kalangan masyarakat, terutama di Indonesia. SSBs mencakup berbagai jenis minuman seperti soda, jus buah kemasan, minuman olahraga, minuman berenergi, teh dan kopi dengan tambahan gula, serta air yang dipermanis. Gula yang digunakan untuk memaniskan minuman ini beragam, mulai dari gula merah, gula jagung, sirup jagung, dekstrosa, fruktosa, glukosa, hingga madu.

Menurut WHO, SSBs mencakup semua minuman dengan free sugars, yaitu gula tambahan yang berpotensi meningkatkan gula darah. Free sugars meliputi gula yang ditambahkan pada makanan/minuman, serta gula alami dalam jus buah, purée, pasta buah/sayur, tetapi tidak termasuk gula dalam susu. WHO dan Kemenkes RI merekomendasikan asupan gula tambahan tak melebihi 10% dari total kalori harian, atau sekitar 50 gram per hari. WHO bahkan menganjurkan pengurangan lebih lanjut hingga di bawah 5% total kalori untuk manfaat kesehatan tambahan.

Namun, kenyataannya banyak minuman berpemanis di pasaran mengandung kadar gula yang jauh melebihi rekomendasi tersebut. Sebagai contoh, satu kemasan minuman di Indonesia berukuran 300-500 ml dapat mengandung sekitar 37-54 gram gula, yang berarti jumlah gula dalam satu kemasan ini sudah melebihi batas harian yang direkomendasikan. Lebih buruk lagi, batas konsumsi gula yang dianjurkan oleh Harvard University hanya berkisar 6-12 gram gula per sajian. Fakta ini menunjukkan tingginya tingkat konsumsi gula dari SSBs di Indonesia yang mengancam kesehatan masyarakat.

Dampak Konsumsi SSBs pada Risiko Penyakit Kronis

Indonesia termasuk dalam negara dengan konsumsi SSBs tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian Ferretti & Mariani tahun 2019, Indonesia menempati posisi ketiga dengan konsumsi rata-rata mencapai 20,23 liter per orang per tahun. Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa 61,3% orang Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari satu kali per hari. Survei Kesehatan Indonesia 2023 memperkuat temuan ini, dengan mencatatkan angka konsumsi serupa sebesar 47,5% penduduk Indonesia yang mengonsumsi SSBs lebih dari sekali per hari. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengonsumsi SSBs sudah melampaui batas aman dan menjadi masalah yang meluas.

Peningkatan konsumsi minuman berpemanis berkaitan erat dengan prevalensi overweight dan obesitas yang semakin meningkat, terutama pada anak-anak dan remaja. WHO melaporkan bahwa prevalensi overweight dan obesitas pada anak-anak dan remaja berusia 5-19 tahun meningkat dari 4% pada tahun 1975 menjadi 18% pada tahun 2016. Salah satu penyebab utama tren ini adalah konsumsi SSBs yang berlebihan. Kalori dari SSBs mudah diserap tubuh namun tidak memberikan rasa kenyang yang memadai, sehingga mendorong seseorang untuk mengonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dibutuhkan. Akumulasi kalori berlebih ini dapat memperburuk obesitas dan meningkatkan risiko penyakit kardiometabolik, seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung.

Bahkan bagi individu tanpa obesitas, konsumsi SSBs tetap meningkatkan risiko penyakit kronis. Penelitian menunjukkan konsumsi SSBs memicu peradangan kronis dan resistensi insulin, yang menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, dan stroke. Konsumsi SSBs yang tinggi juga menurunkan kualitas kesehatan secara umum, termasuk risiko depresi. Penelitian Danqing (2019) menemukan konsumsi dua gelas cola per hari meningkatkan risiko depresi 5%, dan risiko ini naik hingga 25% dengan konsumsi tiga kaleng cola.

Realita Konsumsi Gula di Indonesia yang Memburuk

Kelompok remaja di Indonesia menjadi salah satu segmen populasi yang paling rentan terhadap konsumsi SSBs berlebihan. Riskesdas 2018 melaporkan bahwa tingkat konsumsi SSBs di DKI Jakarta mencapai 61,72%, lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi nasional. Sebuah penelitian oleh Pratiwi pada tahun 2019 menunjukkan bahwa 62,6% siswa di sebuah SMA di Jakarta Timur mengonsumsi SSBs lebih dari dua kali per minggu. Pola konsumsi ini sangat mengkhawatirkan karena kebiasaan yang terbentuk pada usia muda dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mereka.

Peningkatan konsumsi SSBs juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi. SSBs sering kali lebih mudah diakses dan lebih terjangkau dibandingkan minuman sehat seperti susu rendah lemak atau jus buah segar. Iklan yang agresif, kemasan menarik, dan promosi harga juga mendorong tingginya konsumsi SSBs di kalangan anak-anak dan remaja. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi SSBs menjadi tantangan tambahan dalam mengurangi kebiasaan ini.

Apa yang Dilakukan untuk Mengatasi Fenomena Ini?

Untuk mengatasi konsumsi SSBs diperlukan kerjasama dari pemerintah, industri, dan masyarakat. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan cukai pada produk SSBs dan menggalakkan kampanye edukasi bahaya konsumsi gula, terutama di sekolah. Industri diharapkan mengurangi kandungan gula, mengembangkan produk rendah gula, dan menyediakan pelabelan nutrisi yang jelas.

Masyarakat dapat mengurangi konsumsi SSBs dengan memilih air putih atau minuman tanpa gula. Selain itu bisa juga dengan membaca label nutrisi untuk mengontrol asupan gula. Edukasi pola makan seimbang dan dampak negatif gula berlebih perlu terus disosialisasikan, termasuk melalui media sosial.

Baca juga: Anak Sehat, Anak Tidak Obesitas! Yuk Perangi Obesitas pada Anak

Editor: Rheinhard, S.Gz., RD

Referensi: 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *