Pernahkah merasa seolah-olah suatu momen telah dialami sebelumnya, padahal jelas ini adalah pengalaman baru? Fenomena ini, yang dikenal sebagai dejavu, telah memicu rasa penasaran dan spekulasi selama berabad-abad. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Neuropsychology, sekitar 60-70% populasi dunia pernah mengalami dejavu setidaknya sekali dalam hidup mereka. Namun, di balik sensasi misteriusnya, muncul pertanyaan: apakah dejavu sekadar permainan pikiran, atau bisa menjadi indikator masalah kesehatan yang lebih serius?
Mengenal Dejavu: Fenomena yang Misterius
Dejavu, berasal dari bahasa Prancis yang berarti “sudah dilihat,” sering dijelaskan sebagai perasaan familiar yang kuat terhadap situasi yang sebenarnya baru. Fenomena ini biasanya berlangsung singkat, hanya beberapa detik, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam. Meskipun umumnya dianggap tidak berbahaya, beberapa ahli neurologi menyatakan bahwa frekuensi dejavu yang tinggi bisa terkait dengan kondisi otak tertentu. Dr. Akira O’Connor, seorang ahli neurologi dari University of St. Andrews, menyatakan bahwa dejavu adalah “jendela kecil ke dalam cara kerja otak kita.” Menurutnya, setiap pengalaman dejavu bisa memberikan petunjuk baru tentang bagaimana memori dan persepsi kita berfungsi. Meskipun masih banyak yang belum dipahami tentang fenomena ini, penelitian terus dilakukan untuk mengungkap misteri di balik dejavu.
Kaitannya dengan Kesehatan Otak

Studi dari University of Leeds menemukan bahwa individu dengan epilepsi lobus temporal sering melaporkan pengalaman dejavu sebelum mengalami kejang. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena tersebut mungkin terkait dengan aktivitas listrik abnormal di otak. Epilepsi lobus temporal memengaruhi area otak yang bertanggung jawab atas memori dan persepsi, sehingga dejavu bisa menjadi “peringatan” dari otak sebelum kejang terjadi.
Namun, tidak semua kasus dejavu perlu dikhawatirkan. Bagi kebanyakan orang, dejavu hanyalah hasil dari proses kognitif yang kompleks. Teori yang populer adalah bahwa dejavu terjadi ketika otak “mengirim” memori ke bagian penyimpanan jangka panjang sebelum informasi tersebut sepenuhnya diproses. Akibatnya, otak menciptakan ilusi bahwa peristiwa tersebut sudah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: Hati-hati! Makanan dan Minuman ini Tidak Baik untuk Otakmu!
Kesalahan pada Sistem Otak
Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mendukung gagasan bahwa dejavu mungkin merupakan bentuk “kesalahan sistem” dalam mekanisme memori otak. Otak manusia adalah organ yang sangat kompleks, dan terkadang proses pengolahan informasi bisa mengalami gangguan kecil. Misalnya, ketika otak mencoba membandingkan pengalaman baru dengan memori lama, terjadi tumpang tindih yang menciptakan sensasi dejavu.
Penting untuk Tetap Mewaspadai

Meskipun dejavu umumnya tidak berbahaya, penting untuk memperhatikan konteks dan frekuensinya. Jika dejavu disertai dengan gejala lain seperti pusing, kehilangan kesadaran, atau perubahan perilaku, konsultasi dengan ahli neurologi mungkin diperlukan. Dalam beberapa kasus, dejavu bisa menjadi tanda awal gangguan neurologis seperti epilepsi atau bahkan demensia.
Perspektif Psikologi di Balik Dejavu
Menariknya, dejavu juga telah dikaitkan dengan faktor psikologis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa stres, kelelahan, atau kecemasan dapat meningkatkan kemungkinan mengalami dejavu. Studi yang dilakukan oleh University of Colorado menunjukkan bahwa individu yang mengalami tingkat stres tinggi cenderung melaporkan dejavu lebih sering. Hal ini menegaskan bahwa fenomena tersebut tidak hanya terkait dengan fungsi otak, tetapi juga dengan kondisi mental seseorang.
Secara keseluruhan, dejavu tetap menjadi topik yang menarik untuk diteliti. Meskipun sebagian besar kasus tidak mengindikasikan masalah kesehatan serius, penting untuk tetap waspada terhadap tanda-tanda yang tidak biasa. Bagi kebanyakan orang, dejavu hanyalah fenomena psikologis yang menarik. Namun, bagi sebagian kecil, ini bisa menjadi sinyal untuk memperhatikan kesehatan otak lebih serius. Yang pasti, dejavu mengingatkan betapa kompleks dan misteriusnya organ yang satu ini.
Baca Juga: Konsumsi 5 Makanan Ini Agar Performa Otak Maksimal!
Referensi
- The Correlation Between Déjà Vu Phenomenon And Neuropsychology Process On Amygdala And Hippocampus In The Prevalence Of Déjà Vu Used As An Staging Indicator Of Dissociation And Post-Traumatic Disorder (2012), Sampoerna Foundation Exchange Research Project
- Persistent Psychogenic Déjà Vu: A Case Report (2014), Leeds Trinity University
- Processing of Prediction Errors in Mentalizing Areas (2019), Journal of Cognitive Neuroscience
- Déjà Vu Experiences In Anxiety (2018), University of St. Andrews
Editor: Rheinhard, S.Gz., Dietisien