Baru-baru ini masyarakat Indonesia kembali digemparkan dengan usulan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang mengusulkan serangga sebagai salah satu menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Banyak pihak yang mengkritisi, banyak pula yang mempertanyakan skema program MBG berkelanjutan ini.
Semarak Program Makan Bergizi Gratis
Program MBG merupakan upaya pemerintah meningkatkan akses masyarakat terhadap makanan bergizi dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Dilakukan secara bertahap, langkah pertama akan difokuskan menyasar kelompok pelajar SD-SMP-SMA kategori kuintil 1 dan 2 di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia. Hingga saat ini sudah menyasar 31 provinsi Indonesia dengan 238 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) beroperasi memproduksi makanan bergizi yang disalurkan program tersebut.
Penyediaan makanan bergizi tak lepas dari pencarian sumber protein alternatif selain daging (ayam, sapi, ikan). Hal ini karena akses logistik nasional-daerah yang terbatas serta perbedaan kondisi geografis serta ketahanan pangan setiap daerah. Kondisi ini sebetulnya membuka celah pemanfaatan komoditi lokal yang tak kalah menarik. Mulai dari proposal pemberian susu, daun kelor, sampai yang terakhir serangga merupakan usulan pendekatan pemerintah yang tidak jarang menuai banyak komentar dari pengamat sosial.
Serangga sebagai Alternatif Protein
Dalam banyak penelitian, serangga diketahui kaya akan zat gizi protein, asam amino esensial, lemak tak jenuh tunggal, vitamin dan mineral. Komposisinya bervariasi tergantung pada spesies, namun beberapa serangga juga memiliki nilai gizi protein yang diklaim sebanding dengan daging dan unggas
Diulas dalam Journal of Nutrition College, tercatat lebih dari 2000 spesies serangga yang dapat dikonsumsi dalam fase hidup dewasa maupun larva. Kumbang, lebah, belalang, jangkrik dan capung sudah cukup terkenal sebagai bahan pangan oleh masyarakat pedesaan di Jawa Tengah dan Timur, serta tersebar sampai Sumatra dan Kalimantan. Di area timur seperti Papua, masyarakat lebih menggemari larva ulat sagu.
Penerimaan Masyarakat atas Serangga sebagai Menu MBG
Nampaknya memang mempertimbangkan serangga sebagai bahan makanan dapat menjadi sebuah solusi menjawab problematika pemenuhan kebutuhan pangan dunia yang melonjak menjadi 9 miliar jiwa di tahun 2025. Nyatanya, sudah ada beberapa pendekatan makanan menggunakan ulat sagu, jangkrik serta laron, dalam bentuk aslinya atau diolah dan ditambahkan pada bahan pangan lain, sudah cukup marak tak hanya di Indonesia tapi juga di kancah internasional.
Dari segi pemenuhan protein, serangga seperti ulat sagu dan jangkrik memang kaya akan protein yang berguna dalam menutrisi tubuh. Hal ini yang menarik perhatian pemerintah mendayagunakan serangga untuk menjawab permasalahan stunting di Indonesia. Tak hanya itu, banyak serangga juga kaya akan zat besi, kalsium dan vitamin B yang dirasa dapat membantu menanggulangi defisiensi mikronutrien pada anak-anak, terutama pada area 3T di Indonesia. Namun sayangnya, belum banyak penelitian mendalam mengenai kandungan nutrisi dan dampak kesehatan dari beberapa spesies yang tercatat dapat dikonsumsi.
Pendekatan ini memang menarik bagi konsumen namun baru sampai pada tahap tasting saja belum sampai pada penerimaan sebagai makanan sehari-hari. Perlu disadari, tak semua masyarakat dari Sabang sampai Merauke familiar dengan bahan pangan ini serta cara pengolahan yang tepat. Maka, banyak pula yang tak segan menolak keras ide penggunaan serangga sebagai menu MBG karena ke-tidak-familiar-an terhadap pangan baru ini.
Langkah Pengimplementasian Serangga sebagai Strategi Ketahanan Pangan Lokal
Sosialisasi kepada masyarakat terkait bermanfaatnya bahan makanan berbasis serangga ini pun belum cukup dilakukan pemerintah. Masyarakat pasti juga akan mempertanyakan keamanan pangan berbahan dasar serangga, standar nutrisi yang terkandung, sampai pada penerimaan dari segi budaya. Ke-tidak-familiar-an masyarakat atas makanan berbasis serangga inilah yang menyebabkan ketakutan di mata masyarakat untuk mencoba lebih lanjut.
Perlu dikaji pula bagaimana pemerintah menjamin keabsahan SPPG dari masing-masing daerah yang mengolah pangan berbasis serangga menggunakan metode olah yang aman dikonsumsi, apalagi pangan ini ditujukan pada generasi muda penerus bangsa. Nampaknya, banyak pertanyaan yang perlu dijawab untuk kembali mengasah tata kelola program MBG serta didampingi dengan sosialisasi berkala kepada masyarakat.
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengedukasi masyarakat serta memperkenalkan bahan pangan unik ini dapat pula dilakukan dengan menggiatkan sektor-sektor pangan lokal memproduksi pangan olahan serangga. Contohnya, penggunaan tepung ulat sagu atau bubuk jangkrik sebagai bahan tambahan pangan di kue. Pendekatan bertahap ini tidak langsung menyodorkan bentuk asli serangga untuk dapat memperluas penerimaan masyarakat terhadap bahan pangan fungsional ini.
Baca juga: Angin segar Program Makan Bergizi Gratis untuk Kerjasama dengan Jepang, Apa yang bisa dipelajari?
Referensi:
- Pejabat Ini Usul Serangga Jadi Menu Makan Bergizi Gratis, Mau? – Liputan 6
- Kepala BGN Buka Peluang Serangga Jadi Menu MBG di Daerah Tertentu – Detik News
- Seri Satu Kajian Program Makan Bergizi Gratis: Menilik Tujuan, Anggaran dan Tata Kelola (2024), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)
- Potensi Serangga Sebagai Pangan Fungsional untuk Peningkatan Kesehatan dan Ketahanan Pangan di Indonesia: Literature Review (2024), Journal of Nutrition College
Editor: Eka Putra Sedana